Sabtu, 16 Mei 2009

Kreatifitas Makna dalam Lelangen Beksan

Kreatifitas Makna dalam Lelangen Beksan

Malam itu, nurani tidak dibiarkan mendekap dalam sekat hati. Dalam simbolisme gerak tari, tembang, dan musik klasik Jawa para penari mendesak makna untuk dijadikan sebagai pembelajaran nurani.

Adaptasi dari kisah klasik Jawa ke dalam tarian merupakan esensi yang tertuang dalam tarian Bedhaya. Seperti empat tarian yang ditampilkan malam itu oleh grup tari Pranecwara dalam Lelangen Beksan di Teater Salihara, Pasar Minggu. Keempat tarian, yaitu, Beksan Noworetno, Bondo Boyo, Enggar-Enggar, dan Kumolo Bumi merupakan adaptasi dari kisah Jawa klasik yang sarat makna. Para penari yang terdiri atas penari senior dan junior bekerjasama untuk menampilkan pertunjukkan yang berasal dari pakem Bedhaya. Meski Bedhaya kental dengan nilai filosofi pembelajaran nurani, keempat tarian yang dikomandoi Retno Maruti tetap terasa membumi akibat kreatifitas dari salah satu koreografer tari, Rury Nostalgia.

Makna dan tari Jawa klasik. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena kesenian pada dasarnya bertujuan memaknai hidup lewat suatu tindakan. Maka, tari (Beksan) pun hadir sebagai wadah untuk menuangkan kejadian hidup yang diceritakan oleh leluhur. Makna, oleh karena itu, tidak bisa lepas dari tarian itu sendiri. Sama demikian dengan tari yang ada dalam Lelangen Beksan. Selain hiburan (Lelangen), penonton bisa mendapatkan makna jika menelaah lebih mendalam terhadap nama, gerakan, dan isi cerita.

Dalam tarian Beksan Noworetno, gubahan Rury Nostalgia, Tuhan menjadi tema sentral tarian ini. Sembilan orang perempuan membawakan suatu tari yang klasik, halus dan berfilosofi tinggi khas Bedhaya, dengan kostum dan gerakan yang serupa. Penonton seolah diingatkan untuk selalu memohon kepada Tuhan agar mendapatkan bimbingan. Kepercayaan dalam budaya Jawa menempatkan Tuhan pada kekuasaan yang tidak terbatas dan maha universal. Oleh karena itu, mintalah Noworetno (pengayoman Tuhan). Tarian ini diiringi oleh gending Ketawang Mangunsih dengan tempo yang lambat.

Bondo Boyo, jenis tari wireng atau keprajuritan, biasa dipentaskan di sekitar Pura Mangkunegaran. Empat penari laki-laki Bondo Boyo pun membuka pertunjukkan dengan membawa floret, pedang untuk bermain anggar, serta tameng. Perlengkapan yang dibawa ini menunjukkan kesiapan mereka untuk maju di medan perang membela tanah air. Meski berstatus prajurit, kerendahhatian terhadap Tuhan tetap ditekankan dalam tarian ini, ditandai dengan adegan menunduk ketika memulai dan menutup tari. Apabila dalam Beksan Noworetno, gending bermain lambat maka dalam Bondo Boyo, iringan tempo menanjak lebih cepat untuk menuansakan semangat dan gairah dari para prajurit. Tarian ini sekilas mengingatkan akan para tokoh ksatria berani mati demi bela negara dalam pewayangan di serat Tripama gubahan KGPA Mangkunegaran IV.

Retno Maruti, pendiri Pranecwara, tampil apik dengan Wahyu Santoso Prabowo menarikan Enggar-Enggar. Tarian ini merupakan adaptasi dari kisah percintaan Jawa klasik antara Anjasmara dan Damarwulan pada masa kerajaan Majapahit. Gerakan tari muncul sebagai representasi konflik batin yang dialami oleh dua tokoh tersebut. Istri yang enggan melepas suami ke medan perang karena sadar resiko dengan kekonsistenan suami untuk berkorban demi negara. Tembang yang dinyanyikan oleh kedua penari memperdalam emosi dan kalut yang dialami oleh Anjasmara dan Damarwulan. Akhirnya, makna pun terkuak, Anjasmara ikhlas menghadapi nasib suaminya.

Perebutan pengaruh sekaligus cinta menjadi tema utama dalam tarian Kumolo Bumi, yang merupakan pertunjukkan penutup malam itu. Dua orang puteri berbeda budaya namun jatuh hati pada laki-laki yang sama berperang. Adaninggar seorang puteri dari China bertemu di tanah Jawa dengan Kelaswara, puteri dari kerajaan Kelan. Perang antara mereka oleh Rury Nostalgia lantas disimbolkan dengan adu kipas oleh dua orang penari dalam berbagai formasi bentuk, berjejer, diagonal, atau melingkar. Tempo permainan gending dan kipas menjadi penanda naik atau turunnya klimaks cerita. Terbunuhnya Adaninggar ditandai dengan adegan di mana Kelaswara menghempaskan kipasnya ke Adaninggar. Dalam tarian penutup ini, modifikasi Bedhaya terlihat jelas dengan tempo gerakan yang lebih dinamis dan ritmis. Meski demikian, kesakralan nilai Bedhaya tetap muncul dari formasi sembilan penari dan makna yang ditampilkan, cinta pasangan pun menuntut perjuangan yang sama dengan membela negara.

Grup tari Pranecwara didirikan pada bulan Maret 1976 oleh Theodroa Retno Maruti dengan suaminya, Arcadilus Sentot Sudiharto untuk memenuhi idealisme mempertahankan tradisi klasik Jawa di tengah euforia tari kontemporer. Grup ini terbukti mampu menunjukkan eksistensinya dengan ranah klasik Jawa dengan tampil di berbagai negara dan menelurkan banyak karya diantaranya Langendriyan Damarwulan (1969), Abimanyu Gugur (1976), Dewabrata (1998), Alap-Alapan Sukesi (2004), dan Potraits of Javanese Dance (2005). Prinsip Retno untuk membawa kreatifitas dan kejujuran dalam grup tarinya, menjadikan Pranecwara pemeran penting dalam pementasan tari klasik Jawa. Bagi Retno sendiri, mendalami seni tari klasik Jawa turut mengasah nuraninya,” hidup saya terasa lebih tenang, sikap saya juga lebih dewasa dan bijaksana,” jelasnya.
(UTAMI DIAH KUSUMAWATI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar