Senin, 06 Juli 2009

Karya Keemasan

Karya Keemasan

Usia lima puluh tahun bagi para seniman tidak hadir sekedar angka, dia mewakili suatu pembentukan ciri khas kreativitas karya seniman tersebut.

Dalam hidup manusia, usia lima puluh tahun dianggap sebagai periode masa tua. Rambut memutih, tubuh keriput, dan kemampuan baik fisik dan batin menurun. Periode ini adalah momen yang tepat bagi individu untuk berkontemplasi dan menapaki kembali perjalanan hidupnya seperti yang dikatakan psikolog terkenal asal Jerman, Erik Erikson. Berangkat dari ide tersebut, karya beberapa seniman yang telah mencapai usia lima puluh tahun dikumpulkan dalam pameran bertajuk The Golden Age di Akili Art Museum, Kedoya, pada awal Juni silam. Maka, dapat ditemui karya-karya seniman seperti Agus Suwage, Anusapati, Dede Erie Supria, Eddie Harra, Tisna Sanjaya, dan Yani Mariani Sastranegara menunjukkan proses perjalanan kreasi seni mereka.

“Pameran The Golden Age ini terutama berupaya untuk melacak kembali perjalanan yang ditempuh oleh seniman-seniman tersebut dalam kurun dua puluh tahun terakhir. Untuk melihat kecenderungan umum dari generasi tersebut terutama berkaitan dengan visi estetik maupun tema karya,” Alia Swastika, kurator pameran, menjelaskan.

Persamaan dari keenam seniman tersebut selain usia adalah lahir dari institusi pendidikan seni. Agus Suwage dan Tisna Sanjaya lulusan Institut Teknik Bandung, Anusapati dan Dede alumni Akademi Seni Rupa Indonesia, Eddie Hara dari Institut Seni Indonesia, dan Yani Mariani lulusan LPKJ. Dalam didikan akademis para seniman ini menemukan identitasnya sendiri kemudian berkembang sesuai dengan latar belakang situasi politik pada era itu, tahun 1980-an.

Dede Eri Supria dalam pameran ini menampilkan narasi dalam lukisan Balada Penarik Gerobak. Terdapat alur berkisah tentang nasib tragis seorang penarik gerobak. Di sini, Dede berusaha untuk menangkap fenomena yang sering terjadi pada kaum marjinal di perkotaan besar – ciri khas dari karya Dede Eri Supria. Sedangkan, dalam karya Melihat Surga Bagi Anaknya, Yani Mariani Sastranegara membuat sebuah patung perempuan duduk bersila dengan tangan memegang lilitan kain di kepala sambil menatap kaki kirinya. Tatapan patung ke arah kaki kiri seolah menyiratkan bahwa surga ada di telapak kaki Ibu. Yani Mariani merupakan seorang perupa patung yang terkenal dengan ciri personalnya.

Sedangkan, Anusapati, perupa asal Yogyakarta, dikenal dengan ciri khas penggunaan bahan bambu dan kayu dalam karya-karyanya. Penggunaan medium tersebut merupakan bentuk ketertarikan Anusapati terhadap persoalan ekologi. Dalam karyanya yang berjudul Tok! Tok!, kayu digunakan sebagai bahan pembentuk benda serupa kentungan. Selain penggunaan material dari alam, karya Anusapati juga lebih banyak berbentuk barang-barang yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional. Bila Anusapati menekankan aspek tradisional pada karyanya, Eddie Hara mengambil reprentasi simbol hewan dalam lukisannya. Dalam mitologi Buddha dan Hindu, hewan tersebut hadir dalam bentuk gajah, ayam, burung, dan ikan. Selain mengambil simbol hewan, Eddie juga memasukkan unsur komik ke dalam karyanya. Warna lukisannya pun didominasi dengan nuansa terang seperti merah muda atau kuning dan tak jarang menghasilkan pertentangan.

Dua pelukis terakhir, Tisna Sanjaya dan Agus Suwage, sama-sama sering mengangkat persoalan sosial dan politik di tanah air. Dalam ...Gambar Gelap... dan ...Gambar Politik... karya Tisna Sanjaya, nuansa sosial dan politik terasa kental. Tisna Sanjaya terkenal dengan penggunaan bahan unik untuk karyanya diantaranya, arang, pelat master, pelat besi, atau sekop. Sedangkan unsur politik, dalam karya Agus Suwage, Potret Diri Sebagai Nero, ditampilkan dalam tema kepemimpinan tirani dan kejam model Nero, kaisar Romawi.

Dengan menelusuri kembali karya masing-masing seniman, muncul suatu gambaran latar belakang yang mewarnai proses kreativitas diri seniman bersangkutan. Akhirnya didapatkan suatu karya keemasan di dalam denyut nadi seniman-seniman berusia lima puluh tahun.

(Utami. D.Kusumawati)

Dan derita pun jadi jenaka…

Dan derita pun jadi jenaka…

Di tangan Ugo Untoro, pengorbanan dan penderitaan spiritual berubah menjadi sesuatu yang begitu cair, personal, dan jenaka.

Konsep penderitaan tidak selamanya bernuansa serius, tragis dan heroik. Ia juga bisa menjelma menjadi sesuatu yang jenaka, kendati tak harus kehilangan makna. Berangkat dari ide tersebut, Ugo mencoba untuk menggali sesuatu yang personal, yang diangkat dari kerinduan mencapai sesuatu yang spiritual: Tuhan. Penelusuran itu lantas membawanya bersinggungan dengan berbagai simbol yang memungkinkannya terhubung pada makna ketuhanan. Dan, salib - terlepas dari simbol religi- memberi sebuah pengalaman inderawi yang lantas ia selami. Rasa Ugo yang begitu kuat membuatnya kemudian mampu ‘menyerap’ rasa sakit yang terkandung dalam simbol itu, menjadi sebuah pengalaman ragawi. Kesakitan yang mengingatkan pada konsep penderitaan yang telah ada pada jaman sebelum kemunculan agama, sebagai upaya pembersihan diri untuk mencapai kesucian hingga layak bertemu Tuhan. Maka, ruang pameran di Nadi Gallery, Puri Indah, pun dipenuhi dengan patung berbagai ekspresi yang disiksa di kayu salib pada pertengahan Juni silam.

Judul Cross sendiri memiliki dualitas makna, dikotomi antara kutub positif dan negatif –kepasrahan dan kelemahan. Kepasrahan dimetaforakan dengan posisi penyaliban – dimana orang yang disalib pasrah menerima kesakitan (atau hukuman) atas tubuh dan dirinya. Sedangkan kelemahan dilambangkan dengan salib yang sering terkait sebagai simbol religius. Sebagai simbol religius, visualisasi salib memunculkan suatu perasaan lemah dalam diri manusia – karena pada titik ini manusia menilai dirinya kecil (dibanding Tuhan). Oleh karena itu, makna yang hadir dalam 'Cross' sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari nuansa spiritual.

Spiritualitas karya Ugo ditampilkan dalam pembagian warna patung – yang mencirikan kadar kedekatan dengan Tuhan. Semakin terang dan cerah warna patung, semakin dekat sisi spiritualismenya. Untuk tingkat terendah, Ugo memberi guratan pada tembok di sisi patungnya yang berwarna coklat tua berupa kalimat cinta atau ungkapan kerinduannya. Di tahap ini Ugo seolah menjelaskan bahwa spiritualisme manusia masih lekat dengan keduniawian seperti yang bisa dilihat dalam karya Cross no. 7, Cross no.8, Cross no. 9, atau Cross no. 10. Sedang di tahap tengah dan tinggi, Ugo membiarkan karyanya bersih selain memberikan nuansa warna yang lain dalam karya Cross no.6, Cross no. 11, atau Cross no. 15. Bahkan dalam level tertinggi – ia memberi warna biru pada patungnya, simbol warna pencerahan. Biru yang umumnya melambangkan kesedihan atau tragedi, justru dimaknai sebagai tercapainya keintiman dengan Tuhan. “ Seperti level stupa pada Borobudur – yang terbagi menjadi tiga. Begitu pula karya saya terbagi atas tiga level dalam tahap mencapai sesuatu yang divine atau suci,” Ugo menjelaskan.
Meski terkesan serius, sebenarnya ia ingin mengangkat kejenakaan dari sebuah penderitaan. Bagaimana bisa ada humor dalam rasa sakit? “ Awalnya saya ingin memunculkan sesuatu yang ringan dan lucu dalam karya ini. Namun, nampaknya tidak terlihat demikian,” terangnya. Tapi Enin Supriyanto, kurator pameran ini tetap merasakan hal itu. Ia beranggapan, ketika membayangkan sesuatu yang agung, sesungguhnya Ugo (hanya) 'kangen pada seseorang yang kita cintai' bukan pada sesuatu yang disebut heroisme. Di sini, tersirat kejahilan yang menyentil dari kreativitas Ugo Untoro.
Konsep penderitaan yang pada jaman dahulu bersifat sangat heroik dan agung oleh Ugo diberikan sentuhan personal dengan mengangkat rasa rindu sebagai awal penderitaan tubuh untuk mencapai spiritualisme. Secara keseluruhan, rasa sakit atas kerinduan terhadap orang yang dicintai seolah menunjukkan upaya eksistensi manusia untuk lebih memahami diri dan Tuhannya.
(Utami. D. Kusumawati)

Lakon Hidup dalam Lelangen Beksan

Lakon Hidup dalam Lelangen Beksan

Hidup adalah gerak batin yang berjalan dari satu lakon ke lakon lainnya. Itulah yang terekam dalam tarian Bedhaya yang menyuguhkan serangkaian makna dalam gerak dan tembangnya.

Adaptasi kisah klasik Jawa ke dalam tarian merupakan esensi yang tertuang dalam tarian Bedhaya. Pakem itu masih dipegang teguh oleh grup tari Padnecwara, seperti tampak dalam pertunjukan Lelangen Beksan di Teater Salihara, Pasar Minggu. Empat komposisi tari yang ditampilkan malam itu – Beksan Noworetno, Bondo Boyo, Enggar-Enggar, dan Kumolo Bumi – merupakan adaptasi dari kisah Jawa klasik yang sarat makna. Para penari lintas generasi, bekerjasama menampilkan pertunjukkan yang berasal dari pakem Bedhaya yang sarat makna. Namun, meski kental dengan filosofi pembelajaran nurani, empat tarian yang dipertunjukkan malam itu tetap terasa membumi.

Dalam kesegarannya, makna yang selalu menjadi jiwa dalam tarian klasik Jawa, tetap terasa. Makna yang tidak bisa dipisahkan, karena pada dasarnya kesenian adalah salah satu cara manusia memaknai hidup. Maka, tari (Beksan) pun hadir sebagai wadah untuk menuangkan kejadian hidup yang diceritakan oleh leluhur. Itu pula yang ingin dimunculkan dalam Lelangen Beksan. Selain hiburan (Lelangen), penonton bisa mendapatkan makna jika menelaah lebih mendalam terhadap nama, gerakan, dan isi cerita.

Dalam tarian Beksan Noworetno, gubahan Rury Nostalgia, Tuhan menjadi tema sentral tarian ini. Sembilan orang perempuan melenggok dalam gerakan halus, lembut dan sarat filosofi khas Bedhaya, dengan kostum dan gerakan yang serupa yang menjadi ciri khasnya. Dalam budaya Jawa, Tuhan memang selalu ditempatkan pada kedudukan dengan kekuasaan tak terbatas dan maha universal. Penonton seolah diingatkan untuk selalu memohon kepada Tuhan agar mendapatkan bimbingan. Dan meminta Noworetno (pengayoman Tuhan). Tarian ini diiringi oleh gending Ketawang Mangunsih dengan tempo yang lambat.

Nuansa kontemplatif itu segera berubah dinamis tatkala Bondo Boyo dipergelarkan. Jenis tari wireng (keprajuritan) yang biasa ditarikan empat penari lelaki dan dipentaskan di sekitar Pura Mangkunegaran ini, dibuka dengan adegan membawa floret, pedang untuk bermain anggar, serta tameng. Perlengkapan ini dianalogikan sebagai kesiapan mereka maju ke medan perang, membela tanah air. Meski ruh tarian ini berkisah tentang laku ksatria, rasa takzim terhadap Tuhan tetap ditekankan lewat adegan menunduk ketika memulai dan menutup tari. Selaras dengan gerakannya yang dinamis, gamelan pun menggunakan tempo lebih cepat untuk menggambarkan semangat dan gairah para prajurit. Sekilas, tarian ini akan mengingatkan kita pada kisah para ksatria yang rela gugur demi negara dalam serat Tripama gubahan KGPA Mangkunegaran IV.

Retno Maruti, pendiri Padnecwara, tampil apik dengan Wahyu Santoso Prabowo menarikan Enggar-Enggar. Diadaptasi dari kisah percintaan Jawa klasik antara Anjasmara dan Damarwulan pada masa kerajaan Majapahit, gerakan tari muncul sebagai representasi konflik batin yang dialami oleh dua tokoh tersebut. Anjasmara yang enggan melepas suami ke medan perang karena tak rela kehilangan kekasih hatinya, beradu dengan konsistensi semangat bela negara sang suami, Damarwulan. Tembang yang dinyanyikan oleh kedua penari mempertajam nuansa nglangut yang penuh emosi dan kekalutan. Hingga di satu titik, Anjasmara mengerti betapa mulia tujuan suaminya, dan ikhlas menjalani nasib.

Nuansa sublim itu lantas berganti ritme yang lebih trengginas. Dalam sekuen akhir, komposisi Kumolo Bumi menutup pertunjukan malam itu dengan cerita tentang dua putri berbeda budaya yang jatuh hati dan memperebutkan pria yang sama, Jayengrana. Adaninggar, putri Cina yang berguru pada Jayengraga, bertemu dengan Kelaswara, putri dari kerajaan Kelan yang ingin menuntut balas kematian ayahnya. Adu kipas oleh Rury Nostalgia lantas disimbolkan sebagai adegan perang kedua pendekar perempuan itu. Dalam berbagai formasi cantik – berjejer, diagonal, atau melingkar – ‘pertempuran’ kipas itu bersinergi dengan tempo permainan gending yang menjaga alur cerita. Terbunuhnya Adaninggar ditandai dengan adegan di mana Kelaswara mengempaskan kipas ke tubuh putri Cina itu. Dalam tarian pamungkas ini, modifikasi Bedhaya terlihat jelas dengan tempo gerakan yang lebih ritmis dan dinamis. Namun, pakem Bedhaya tetap muncul lewat jumlah penari dan makna tarian yang ditampilkan, misalnya tentang cinta, pengorbanan dan bela negara..

Didirikan oleh pasangan penari senior Retno Maruti dan Sentot Sudiharto pada Maret 1976, Padnecwara memang menjadi kendaraan keduanya untuk memenuhi idealisme mereka mempertahankan tradisi klasik Jawa di tengah euforia tari kontemporer. Grup ini terbukti mampu menunjukkan eksistensinya dalam ranah tari Jawa klasik dengan tampil di berbagai negara dan menelurkan banyak karya, di antaranya Langendriyan Damarwulan (1969), Abimanyu Gugur (1976), Dewabrata (1998), Alap-Alapan Sukesi (2004), dan Potraits of Javanese Dance (2005). Padnecwara juga membuka diri terhadap kemungkinan ‘mengawinkan’ Bedaya dengan tarian klasik daerah lain. Ini mereka buktikan dalam pertunjukan Bedaya Legong Calonarang pada 2006, di mana Retno berkolaborasi dengan Bulantrisna Djelantik, penari legong yang kini menetap di Amerika. Prinsip Retno yang terbuka terhadap khazanah budaya lain ini, memberi peluang kreativitas tergali secara maksimal. (Utami D. Kusumawati)

Minggu, 05 Juli 2009

Catatan Harian dari Jakarta

Catatan Harian dari Jakarta

Seorang pria mengenakan beskap Jawa, dasi, dan jas merah. Tangannya memegangi sebuah blankon yang dikenakan di kepalanya. Unik, blangkon tersebut bercorak bendera Amerika Serikat. Wajah pria itu terlihat bingung akan identitas dirinya sendiri di tengah benturan antara modernitas dan nilai kearifan lokal. Kebingungan itu, yang hadir diantara penduduk kota-kota besar, ditangkap oleh sensitifitas seniman dalam karya-karya mereka yang dipamerkan di Galeri Rumah Jawa, Kemang Timur. Pameran yang bertajuk A Diary of Jakarta (sebuah catatan harian) Art, Multicultural and Identity tersebut diramaikan oleh 19 seniman – 10 diantaranya tergabung ke dalam komunitas Ngasri, seniman asal Jogja dan Solo. Dari tema tersebut, para seniman menuangkan konsepnya ke dalam lukisan yang didalamnya banyak ditemukan kritik sosial terhadap keadaan Jakarta masa kini.

Kritik sosial itu, misalnya, adalah kebingungan identitas seperti yang dialami pemuda Jawa pada ilustrasi diatas. Giring Prihatyasono, pelukis muda, menampilkan suatu dilematis penduduk ketika modernitas datang dalam lukisannya Mencari Identitas. Di satu pihak, nilai kearifan lokal belum sepenuhnya dihayati, penduduk mesti menerima budaya baru hasil modernitas instan. Akibatnya, adalah kebingungan. Hal yang sama juga ditampilkan dalam karya Agus Prayitno yang berjudul Ditengah Modernisasi. Seorang penari Betawi duduk termangu dengan muka terpekur lesu, sementara diantara tali-tali hiasan kepala yang menjuntai di wajahnya, terdapat beberapa pin dengan gambar coca-cola, burger, mobil mewah, gedung perkotaan, dan telepon genggam. Di sini, nilai budaya lokal seperti yang ditunjukkan oleh penari Betawi mulai tergeser dengan budaya modern. Penari pun duduk lesu seolah tak berdaya.

Arus urbanisasi yang pesat masuk ke kota Jakarta, membuat para penduduknya meski berjuang untuk bertahan hidup seperti yang tampak dalam lukisan karya Agus Prasetyo berjudul Survival dan Kepala Dibuat Kaki, Kaki Dibuat Kepala. Usaha keras dibutuhkan walaupun – istilahnya- sampai titik darah penghabisan seperti lukisan karya Dyan Anggraini berjudul Viva Jakarta yang menceritakan usaha seorang perempuan untuk mendapatkan pekerjaan di Jakarta mesti berkedok topeng. Sementara, persaingan yang ketat membuat waktu pun seolah cepat berlalu. Apabila dahulu – waktu tidak pernah dianggap ancaman – kini, waktu diburu, dikejar, untuk mencapai sesuatu sebelum usia tua. Hary Purnomo ‘Ponk-q’ melihat gejala ini dan menuangkan dalam karyanya Race Againts The Time, di mana dia melukis beberapa siluet manusia dengan benang terikat di tubuh mereka berlomba mencapai garis finish, yaitu, waktu.

Keterbatasan waktu bagi penduduk kota Jakarta, membuat dunia pun tidak lagi berwarna ceria. Ambisi, hasrat atau nafsu berpacu untuk mendapatkan suatu kemapanan hidup ala perkotaan besar. Kegelapan batin semacam itulah yang berhasil ditangkap oleh pelukis Made Toris Mahendra dalam karyanya yang berjudul Syndrom, Friend, dan Mind Conqueror. Ironis ditemukan dalam karya Friend. Ketika teman berkumpul untuk lain waktu cakar-cakaran ibarat macan yang kelaparan. Pergulatan nafsu manusia terasa kental di sini. Pergulatan itu juga ditampilkan oleh pelukis Stanislaus Hari Mulyanto dengan judul Between Heaven and Hell, dengan pertentangan dalam relung-relung kejiwaan manusia. Pelukis lain yang juga menangkap suasana kelam dalam kehidupan di Jakarta adalah Cecep 'Kekev' Rusyanto dengan karyanya “Jakarta...Amazing!” dan Sebatas Impian dan Boyke Aditya Khrisna S dalam karya Di Bawah Permukaan dan Karam Sebelum Berlabuh.

Bila beberapa pelukis menangkap tema ke dalam sesuatu rasa yang gelap, tidak demikian dengan pelukis seperti Hono Sun. Dalam karya Pergi ke Bulan, seorang supir becak membawa becaknya di atas awan, dengan keriangan bak anak kecil. Di sini tertangkap atmosfer keceriaan meski terkesan imajiner atau ilusi. Sedangkan, dalam karyanya yang lain, Penghijauan, gedung-gedung diberi warna hijau seolah mengindikasikan gaya hidup eco office yang mulai trend di Jakarta. Setidaknya, optimisme masih mewarnai nafas penduduk diantara pesimisme tentang kehidupan perkotaan.

Sedangkan pelukis lainnya memilih berbicara tentang realita hidup sehari-hari di Jakarta. Ada yang berbicara tentang tata kota dan kaitannya dengan tata letak patung di Jakarta. Tata kota Jakarta yang tidak beraturan akibat pembangunan ekstrim membuat patung pun tidak mendapatkan lokasi yang semestinya. Hal ini yang nampak dalam karya Vincensius Dwimawan yang berjudul Unjuk Gigi. Sementara Azri Riyadi menangkap gejala tak adanya konsistensi pembangunan di Jakarta. Gedung-gedung dibikin, fasilitas transportasi umum dikerjakan, lahan dibabat habis, untuk pembangunan yang belum selesai sampai kini. Sedangkan, pelukis Widiyatno menampilkan orang tua dengan opletnya – pasangan yang sama-sama hampir tersingkir dalam arus modernisasi di Jakarta. Dalam Selamat Datang Polusi, Sumarjo mengisahkan polusi yang kian pekat membuat penduduknya hidup dalam masker. Hal yang sama juga ditemukan dalam lukisan karya Ady laksono, Dwiko Raharjo, Herman Widianto, Said Budiarto,dan Widiyatno.

“Keterpercahan, kegemilangan, tragedi, ilusi, imajinasi tanpa batas, kegembiraan, sesuatu yang bermakna dan omong kosong berpadu menjadi satu dalam tingkah polah manusia yang menghuni kota,” Wicaksono Adi, kurator, menjelaskan. Kesemua permasalahan di Jakarta adalah bagian yang tak terpisahkan dari nafas penduduknya, suatu paradoks yang berdenyut dalam nadi modernitas perkotaan.

(Utami D. Kusumawati)