Kamis, 24 September 2009

Prolog

Awalnya, aku enggan menulis jurnal harian tentang hidupku di website umum. Egoku berbicara, bercerita tentang hidup sendiri merupakan bentuk dramatisasi hidup. Mencari perhatian. Suatu tindakan tak terpuji bagi seorang yang bercita-cita menjadi penulis. Bukan suatu etika karena penulis telah mati saat dia mulai menulis. Meski kerapkali, aku memasukkan emosi yang kudapat dalam hidupku ke dalam tulisan-tulisanku. Aku enggan menulis tentang hidupku. Sampai, suatu perjalanan ke kampung halaman menyadarkanku.

Hidupku, kejadian apapun yang berlangsung di dalamnya, justru yang mendorongku untuk menulis, menulis, dan terus menulis. Jika tidak ada hidupku, tidak akan terlahir keinginan kuat dari diriku untuk menulis. Bahkan perjalanan hidupku sendiri, mengapa aku mengambil kuliah di jurusan sastra inggris, lalu bekerja sebagai editor di penerbit Erlangga, dan sekarang menjadi redaktur, dengan sangat bangga kuucapkan, FITUR, di suatu majalah fashion, Dewi, merupakan bagian penting yang membentuk esensi hasrat menulis dalam diriku.

Tapi, bukan tentang diriku lah yang akan kutulis. Karena, di balik kejadian-kejadian itu, ada suatu pengorbanan yang dilakukan deminya. Dan, sekiranya tulisan ini mampu ‘menyentuh’ hati para pembaca, kepada merekalah kudedikasikan semua ini. Dan, untuk itulah, akhirnya aku memutuskan untuk menulis jurnal harian kehidupanku. Karena mereka, keluargaku. Belum mampu memberikan hal apapun atas pengorbanan tersebut, maka tulisan ini mudah-mudahan bisa membantu mereka, untuk eksis dan berbagi kepada sesama, mengenai pengalaman hidup masing-masing anggotanya, yang berwarna.
Selamat membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar