Kamis, 24 September 2009

Kerikil

Catatan tentang ayah. Bagian satu.

Kerikil.

“Bantu aku memberi nama kudaku,” seorang teman meminta tolong padaku.
Semesta. Kerikil.
Kedua nama itu yang terbersit dalam benakku. Secepat kilat. Ada perasaan hangat saat mengucapkannya.
“Bagus. Aku hendak memakai kerikil untuk kudaku,” ujar temanku melalui pesan singkat.
Saat itu aku sedang berada di jalan, dan otakku turut mengembara seperti roda mobil yang terus berputar menyusuri jalanan.
Kerikil.
Aku ingat percakapan dengan ibu siang tadi. Ketika ban mobil kami kempis karena terkena paku. Kami memutuskan untuk mencari tempat tambal ban. Sementara menunggu ban selesai di tambal, ibu membuka percakapan denganku.
“Lihat ayahmu. Dia sudah pandai pakai sandal jepit.”
Aku mengangguk, melihat ayah dengan susah payah menjepit sandal dengan kedua jari kakinya. Alih-alih mengangkat sandal, dia berjalan dengan menyeret sandal. Terlihat kesusahan, namun ayah berusaha keras melatih kaki-kakinya.
“Gak terasa ya, sudah setahun sejak ayahmu terkena serangan strokenya.”
Aku mengangguk lagi. Menatap wajah ayah yang semakin lama dipenuhi guratan, kerutan, dan tampangnya kini jauh menua di banding sebelum terkena stroke.
Ya. Aku ingat masa-masa itu. Saat itu, aku sedang khawatir, di kantorku sedang ada isu pemutusan hubungan kerja karena imbas krisis moneter pada bidang percetakan dan buku pelajaran. Isunya, karyawan baru yang kemungkinan besar terkena phk. Aku sangat cemas.
Awal masuk kerja di kantor itu orangtua pun sudah tidak setuju. Tidak bermasa depan dan tidak terkenal namanya, sedangkan aku menganggap kerja di tempat itu merupakan suatu awal menuju cita-citaku. Menjadi penulis profesional.
Sedang, berita phk itu sama saja akan memupuskan cita-citaku. Orangtuaku akan menyalahkanku, dan membuat keputusanku semakin nyata salah sejak awal. Di tengah kebimbanganku, antara kehilangan pekerjaan atau tidak, datang berita itu.
“Ayahmu terkena stroke.”
Aku seolah kehilangan pegangangku saat itu.
Ayah terkena stroke berarti aku lantas menjadi pegangan keluargaku, termasuk adik-adikku dan aku mencoba lari dari tanggungjawab itu. Kerja di dunia percetakan, tidak bergaji besar. Dan menuntut waktu banyak pula saat dikejar deadline. Usai kejadian ini, orangtuaku akan semakin menuntut aku mencari pekerjaan yang sesuai, menurut pemikiran mereka. Prihatin keadaan. Beberapa orang bahkan, mengkhawatirkanku, dan menyarankan untuk segera menikah.
Ketika ayah stroke, awalnya aku tetap bersikeras bahwa duniaku tetap sama. Aku tetap punya waktu untuk diriku sendiri, untuk mencapai cita-citaku. Di kantorku, aku, bersama para editor muda lainnya, membuat mini newsletter, sebagai bentuk idealisme dan kepuasan batin kami. Mungkin misi idealisme kami tercapai, tapi apa yang aku peroleh untuk hidupku? Setidaknya orang-orang yang aku cintai?
Mini newsletter tidak akan menyembuhkan penyakit ayah. Mini newsletter tidak akan mengurangi beban ibu. Mini newsletter tidak akan membantu keuangan adik-adikku atau mempererat hubunganku dengan mereka. Tetapi, aku tetap bekerja di sana.
“Ibu sebenarnya juga suka kesal sendiri kalau ayahmu sudah mulai menuntut dan tidak mau mengalah. Merasa diri yang paling benar. Ibu juga suka marah-marah kalau ayahmu seperti itu, tetapi usai berlaku demikian, suka sadar, ayahmu sakit. Dan, tidak berhak diperlakukan seperti itu. Jadi, ibu akan meminta maaf pada ayahmu,” lanjut Ibu.

Aku teringat kejadian tadi malam, ketika ayah mulai mengamuk karena handphonenya rusak. Aku diomeli habis-habisan, dan aku menjawab omelan ayah, sekali. Meski tidak sahut menyahut, tapi aku sebal sekali dengan ayah, dan perasaan itu menjadi terakumulasi. Aku menangis tiada henti. Menyalahkan keadaan. Mengapa, kami menjadi tidak punya pilihan, kenapa hidup tidak adil. Kenapa kejadian buruk justru menimpa saat aku sedang menapaki cita-citaku??
“Tahu, semalam ibu khawatir sekali. Ayahmu sudah bilang pening, mukanya sudah pucat.”
“Oh ya?”
“Ya. Saat semalam kita berhenti di rumah Mbah Ijen, ayahmu tidak mau solat di sana karena masalah tempat parkir yang sempit. sedang kakek nenekmu ingin berkunjung ke tempat mbah ijen, dan anak-anaknya malah pergi duluan ke mesjid. Ayah bilang kepalanya pusing. Jantungnya berdebar, dan ibu takut sekali.”
Aku meresapi ucapan ibu dan obrolan kami beberapa bulan silam muncul di memoriku. Saat itu ibu baru saja mimpi sesuatu. Ibu bercerita padaku. Intinya, aku menangkap ibu belum siap kehilangan ayah. Oleh karena itu, ibu menjaga habis-habisan ayah. Ibu takut kehilangan ayah.
Kejadian ayah stroke menimpa keluarga kami begitu cepat. Aku menyimpulkan kami belum sama-sama siap.
“Ibu belajar untuk sabar sekarang,”ujar ibu pelan.
“Meski sebagai manusia, tetap ada ya batasnya. Cuma, ibu suka kasihan melihat keadaan ayahmu sekarang. Ibu ingin anak-anaknya menyadari, bahwa ayah mereka sakit. Keadaan sudah tidak sama seperti dulu lagi. Harus pada lebih peka,” suara ibu bergetar. Ada kesedihan di sana.
Aku mencoba meresapi kalimat ibu. Mengapa ibu begitu tenggelam dengan kesedihan, sedangkan hidup harus terus berjalan ke depan? Apa ternyata aku yang tidak peka, atau, ibu yang masih belum siap dengan keadaan ini, atau ternyata aku yang mencoba lari dengan keadaan ini dan tak mengerti segala sesuatunya?
Kerikil. Aku menyukai nama itu. Saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar