Kamis, 24 September 2009

Dan Ketika Anak-Anakku Terlahir

Catatan harian tentang Ibu. Bagian pertama.


Dan Ketika Anak-Anakku Terlahir.



Malam, pukul dua tepat.
Seorang bayi dengan kulit putih, telah lahir. Setelah mengandung selama Sembilan bulan, akhirnya bayi itu terlahir juga.
Saking senang dan bangganya, ibu tidak membiarkan bayinya digendong siapapun, selama beberapa jam.
Bahkan setelah dia mengizinkan, setiap orang mesti mencuci bersih tangannya dahulu, sebelum menggendong bayi perempuan putih tersebut. Kegiatan inisial mencuci tangan itu, kelak adalah suatu simbol, bahwa dia menginginkan anaknya tetap bersih dan suci seperti bulan kelahirannya, di bulan Ramadhan.
Anak pertamanya, perempuan. Senyum ibu merekah, kehangatan hadir dalam dadanya.
Nafasnya kembali beraturan setelah beberapa lama berdetak dengan cepat. Didekapnya erat bayi perempuan itu.
*
Ibu tahu untuk bisa bertahan dalam hidup, manusia mesti pintar. Terlahir dalam keluarga dengan ekonomi pas-pasan, kakek seorang satpam sedangkan nenek tidak bekerja, karena mengurusi sembilan anak-anaknya, ibu paham betul bahwa pendidikan baik sangat penting bagi anak-anaknya.
Ketika anak pertamanya lahir, dia meminta bantuan kepada ibu sesepuh agar anaknya kelak, menjadi manusia pintar.
Maka, ibu sesepuh, yang terkenal paling pandai mendoakan di seluruh kampung, menyuruh ibu menyiapkan peralatan tulis dan gambar.
Pensil, pulpen, penghapus, buku kosong, buku gambar pun disiapkan. Ibu sesepuh itu menanam peralatan tulis dan gambar tersebut bersama dengan ari-ari sang anak. Sesudahnya, dia mendoakan.
“Semoga kelak kamu pandai menggunakan alat-alat tersebut, nak, dan menganggapnya seperti sodara sejiwamu sendiri (ari-arimu).”
Dan, kelak, doa itu benar-benar mujarab. Karena, diantara empat anak ibu, hanya anak pertamanyalah, yang dia lihat paling tergila-gila dengan tulis menulis, menggambar, dan membaca.
Percaya tak percaya. Meski, sang anak sendiri percaya bahwa hasratnya muncul justru karena keinginan kuat ibu, yang semenjak kecil sudah mendekatkannya ke dunia tersebut.
*
Ketika anak-anakku terlahir, aku ingin menyayangi mereka sepenuh hati dan membaktikan diri menjadi ibu yang baik, setidaknya buat suami dan anak-anakku sendiri.
Membimbing mereka sampai kelak mereka memilih jalan mereka sendiri, dan tak takut lagi mengarungi luasnya hidup. Berada di sisi mereka, sam pai kelak mereka berani menghadapi hidup.
Seperti yang kupelajari dari para ibu sebelumku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar