Senin, 06 Juli 2009

Lakon Hidup dalam Lelangen Beksan

Lakon Hidup dalam Lelangen Beksan

Hidup adalah gerak batin yang berjalan dari satu lakon ke lakon lainnya. Itulah yang terekam dalam tarian Bedhaya yang menyuguhkan serangkaian makna dalam gerak dan tembangnya.

Adaptasi kisah klasik Jawa ke dalam tarian merupakan esensi yang tertuang dalam tarian Bedhaya. Pakem itu masih dipegang teguh oleh grup tari Padnecwara, seperti tampak dalam pertunjukan Lelangen Beksan di Teater Salihara, Pasar Minggu. Empat komposisi tari yang ditampilkan malam itu – Beksan Noworetno, Bondo Boyo, Enggar-Enggar, dan Kumolo Bumi – merupakan adaptasi dari kisah Jawa klasik yang sarat makna. Para penari lintas generasi, bekerjasama menampilkan pertunjukkan yang berasal dari pakem Bedhaya yang sarat makna. Namun, meski kental dengan filosofi pembelajaran nurani, empat tarian yang dipertunjukkan malam itu tetap terasa membumi.

Dalam kesegarannya, makna yang selalu menjadi jiwa dalam tarian klasik Jawa, tetap terasa. Makna yang tidak bisa dipisahkan, karena pada dasarnya kesenian adalah salah satu cara manusia memaknai hidup. Maka, tari (Beksan) pun hadir sebagai wadah untuk menuangkan kejadian hidup yang diceritakan oleh leluhur. Itu pula yang ingin dimunculkan dalam Lelangen Beksan. Selain hiburan (Lelangen), penonton bisa mendapatkan makna jika menelaah lebih mendalam terhadap nama, gerakan, dan isi cerita.

Dalam tarian Beksan Noworetno, gubahan Rury Nostalgia, Tuhan menjadi tema sentral tarian ini. Sembilan orang perempuan melenggok dalam gerakan halus, lembut dan sarat filosofi khas Bedhaya, dengan kostum dan gerakan yang serupa yang menjadi ciri khasnya. Dalam budaya Jawa, Tuhan memang selalu ditempatkan pada kedudukan dengan kekuasaan tak terbatas dan maha universal. Penonton seolah diingatkan untuk selalu memohon kepada Tuhan agar mendapatkan bimbingan. Dan meminta Noworetno (pengayoman Tuhan). Tarian ini diiringi oleh gending Ketawang Mangunsih dengan tempo yang lambat.

Nuansa kontemplatif itu segera berubah dinamis tatkala Bondo Boyo dipergelarkan. Jenis tari wireng (keprajuritan) yang biasa ditarikan empat penari lelaki dan dipentaskan di sekitar Pura Mangkunegaran ini, dibuka dengan adegan membawa floret, pedang untuk bermain anggar, serta tameng. Perlengkapan ini dianalogikan sebagai kesiapan mereka maju ke medan perang, membela tanah air. Meski ruh tarian ini berkisah tentang laku ksatria, rasa takzim terhadap Tuhan tetap ditekankan lewat adegan menunduk ketika memulai dan menutup tari. Selaras dengan gerakannya yang dinamis, gamelan pun menggunakan tempo lebih cepat untuk menggambarkan semangat dan gairah para prajurit. Sekilas, tarian ini akan mengingatkan kita pada kisah para ksatria yang rela gugur demi negara dalam serat Tripama gubahan KGPA Mangkunegaran IV.

Retno Maruti, pendiri Padnecwara, tampil apik dengan Wahyu Santoso Prabowo menarikan Enggar-Enggar. Diadaptasi dari kisah percintaan Jawa klasik antara Anjasmara dan Damarwulan pada masa kerajaan Majapahit, gerakan tari muncul sebagai representasi konflik batin yang dialami oleh dua tokoh tersebut. Anjasmara yang enggan melepas suami ke medan perang karena tak rela kehilangan kekasih hatinya, beradu dengan konsistensi semangat bela negara sang suami, Damarwulan. Tembang yang dinyanyikan oleh kedua penari mempertajam nuansa nglangut yang penuh emosi dan kekalutan. Hingga di satu titik, Anjasmara mengerti betapa mulia tujuan suaminya, dan ikhlas menjalani nasib.

Nuansa sublim itu lantas berganti ritme yang lebih trengginas. Dalam sekuen akhir, komposisi Kumolo Bumi menutup pertunjukan malam itu dengan cerita tentang dua putri berbeda budaya yang jatuh hati dan memperebutkan pria yang sama, Jayengrana. Adaninggar, putri Cina yang berguru pada Jayengraga, bertemu dengan Kelaswara, putri dari kerajaan Kelan yang ingin menuntut balas kematian ayahnya. Adu kipas oleh Rury Nostalgia lantas disimbolkan sebagai adegan perang kedua pendekar perempuan itu. Dalam berbagai formasi cantik – berjejer, diagonal, atau melingkar – ‘pertempuran’ kipas itu bersinergi dengan tempo permainan gending yang menjaga alur cerita. Terbunuhnya Adaninggar ditandai dengan adegan di mana Kelaswara mengempaskan kipas ke tubuh putri Cina itu. Dalam tarian pamungkas ini, modifikasi Bedhaya terlihat jelas dengan tempo gerakan yang lebih ritmis dan dinamis. Namun, pakem Bedhaya tetap muncul lewat jumlah penari dan makna tarian yang ditampilkan, misalnya tentang cinta, pengorbanan dan bela negara..

Didirikan oleh pasangan penari senior Retno Maruti dan Sentot Sudiharto pada Maret 1976, Padnecwara memang menjadi kendaraan keduanya untuk memenuhi idealisme mereka mempertahankan tradisi klasik Jawa di tengah euforia tari kontemporer. Grup ini terbukti mampu menunjukkan eksistensinya dalam ranah tari Jawa klasik dengan tampil di berbagai negara dan menelurkan banyak karya, di antaranya Langendriyan Damarwulan (1969), Abimanyu Gugur (1976), Dewabrata (1998), Alap-Alapan Sukesi (2004), dan Potraits of Javanese Dance (2005). Padnecwara juga membuka diri terhadap kemungkinan ‘mengawinkan’ Bedaya dengan tarian klasik daerah lain. Ini mereka buktikan dalam pertunjukan Bedaya Legong Calonarang pada 2006, di mana Retno berkolaborasi dengan Bulantrisna Djelantik, penari legong yang kini menetap di Amerika. Prinsip Retno yang terbuka terhadap khazanah budaya lain ini, memberi peluang kreativitas tergali secara maksimal. (Utami D. Kusumawati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar