Senin, 06 Juli 2009

Dan derita pun jadi jenaka…

Dan derita pun jadi jenaka…

Di tangan Ugo Untoro, pengorbanan dan penderitaan spiritual berubah menjadi sesuatu yang begitu cair, personal, dan jenaka.

Konsep penderitaan tidak selamanya bernuansa serius, tragis dan heroik. Ia juga bisa menjelma menjadi sesuatu yang jenaka, kendati tak harus kehilangan makna. Berangkat dari ide tersebut, Ugo mencoba untuk menggali sesuatu yang personal, yang diangkat dari kerinduan mencapai sesuatu yang spiritual: Tuhan. Penelusuran itu lantas membawanya bersinggungan dengan berbagai simbol yang memungkinkannya terhubung pada makna ketuhanan. Dan, salib - terlepas dari simbol religi- memberi sebuah pengalaman inderawi yang lantas ia selami. Rasa Ugo yang begitu kuat membuatnya kemudian mampu ‘menyerap’ rasa sakit yang terkandung dalam simbol itu, menjadi sebuah pengalaman ragawi. Kesakitan yang mengingatkan pada konsep penderitaan yang telah ada pada jaman sebelum kemunculan agama, sebagai upaya pembersihan diri untuk mencapai kesucian hingga layak bertemu Tuhan. Maka, ruang pameran di Nadi Gallery, Puri Indah, pun dipenuhi dengan patung berbagai ekspresi yang disiksa di kayu salib pada pertengahan Juni silam.

Judul Cross sendiri memiliki dualitas makna, dikotomi antara kutub positif dan negatif –kepasrahan dan kelemahan. Kepasrahan dimetaforakan dengan posisi penyaliban – dimana orang yang disalib pasrah menerima kesakitan (atau hukuman) atas tubuh dan dirinya. Sedangkan kelemahan dilambangkan dengan salib yang sering terkait sebagai simbol religius. Sebagai simbol religius, visualisasi salib memunculkan suatu perasaan lemah dalam diri manusia – karena pada titik ini manusia menilai dirinya kecil (dibanding Tuhan). Oleh karena itu, makna yang hadir dalam 'Cross' sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari nuansa spiritual.

Spiritualitas karya Ugo ditampilkan dalam pembagian warna patung – yang mencirikan kadar kedekatan dengan Tuhan. Semakin terang dan cerah warna patung, semakin dekat sisi spiritualismenya. Untuk tingkat terendah, Ugo memberi guratan pada tembok di sisi patungnya yang berwarna coklat tua berupa kalimat cinta atau ungkapan kerinduannya. Di tahap ini Ugo seolah menjelaskan bahwa spiritualisme manusia masih lekat dengan keduniawian seperti yang bisa dilihat dalam karya Cross no. 7, Cross no.8, Cross no. 9, atau Cross no. 10. Sedang di tahap tengah dan tinggi, Ugo membiarkan karyanya bersih selain memberikan nuansa warna yang lain dalam karya Cross no.6, Cross no. 11, atau Cross no. 15. Bahkan dalam level tertinggi – ia memberi warna biru pada patungnya, simbol warna pencerahan. Biru yang umumnya melambangkan kesedihan atau tragedi, justru dimaknai sebagai tercapainya keintiman dengan Tuhan. “ Seperti level stupa pada Borobudur – yang terbagi menjadi tiga. Begitu pula karya saya terbagi atas tiga level dalam tahap mencapai sesuatu yang divine atau suci,” Ugo menjelaskan.
Meski terkesan serius, sebenarnya ia ingin mengangkat kejenakaan dari sebuah penderitaan. Bagaimana bisa ada humor dalam rasa sakit? “ Awalnya saya ingin memunculkan sesuatu yang ringan dan lucu dalam karya ini. Namun, nampaknya tidak terlihat demikian,” terangnya. Tapi Enin Supriyanto, kurator pameran ini tetap merasakan hal itu. Ia beranggapan, ketika membayangkan sesuatu yang agung, sesungguhnya Ugo (hanya) 'kangen pada seseorang yang kita cintai' bukan pada sesuatu yang disebut heroisme. Di sini, tersirat kejahilan yang menyentil dari kreativitas Ugo Untoro.
Konsep penderitaan yang pada jaman dahulu bersifat sangat heroik dan agung oleh Ugo diberikan sentuhan personal dengan mengangkat rasa rindu sebagai awal penderitaan tubuh untuk mencapai spiritualisme. Secara keseluruhan, rasa sakit atas kerinduan terhadap orang yang dicintai seolah menunjukkan upaya eksistensi manusia untuk lebih memahami diri dan Tuhannya.
(Utami. D. Kusumawati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar