Minggu, 05 Juli 2009

Catatan Harian dari Jakarta

Catatan Harian dari Jakarta

Seorang pria mengenakan beskap Jawa, dasi, dan jas merah. Tangannya memegangi sebuah blankon yang dikenakan di kepalanya. Unik, blangkon tersebut bercorak bendera Amerika Serikat. Wajah pria itu terlihat bingung akan identitas dirinya sendiri di tengah benturan antara modernitas dan nilai kearifan lokal. Kebingungan itu, yang hadir diantara penduduk kota-kota besar, ditangkap oleh sensitifitas seniman dalam karya-karya mereka yang dipamerkan di Galeri Rumah Jawa, Kemang Timur. Pameran yang bertajuk A Diary of Jakarta (sebuah catatan harian) Art, Multicultural and Identity tersebut diramaikan oleh 19 seniman – 10 diantaranya tergabung ke dalam komunitas Ngasri, seniman asal Jogja dan Solo. Dari tema tersebut, para seniman menuangkan konsepnya ke dalam lukisan yang didalamnya banyak ditemukan kritik sosial terhadap keadaan Jakarta masa kini.

Kritik sosial itu, misalnya, adalah kebingungan identitas seperti yang dialami pemuda Jawa pada ilustrasi diatas. Giring Prihatyasono, pelukis muda, menampilkan suatu dilematis penduduk ketika modernitas datang dalam lukisannya Mencari Identitas. Di satu pihak, nilai kearifan lokal belum sepenuhnya dihayati, penduduk mesti menerima budaya baru hasil modernitas instan. Akibatnya, adalah kebingungan. Hal yang sama juga ditampilkan dalam karya Agus Prayitno yang berjudul Ditengah Modernisasi. Seorang penari Betawi duduk termangu dengan muka terpekur lesu, sementara diantara tali-tali hiasan kepala yang menjuntai di wajahnya, terdapat beberapa pin dengan gambar coca-cola, burger, mobil mewah, gedung perkotaan, dan telepon genggam. Di sini, nilai budaya lokal seperti yang ditunjukkan oleh penari Betawi mulai tergeser dengan budaya modern. Penari pun duduk lesu seolah tak berdaya.

Arus urbanisasi yang pesat masuk ke kota Jakarta, membuat para penduduknya meski berjuang untuk bertahan hidup seperti yang tampak dalam lukisan karya Agus Prasetyo berjudul Survival dan Kepala Dibuat Kaki, Kaki Dibuat Kepala. Usaha keras dibutuhkan walaupun – istilahnya- sampai titik darah penghabisan seperti lukisan karya Dyan Anggraini berjudul Viva Jakarta yang menceritakan usaha seorang perempuan untuk mendapatkan pekerjaan di Jakarta mesti berkedok topeng. Sementara, persaingan yang ketat membuat waktu pun seolah cepat berlalu. Apabila dahulu – waktu tidak pernah dianggap ancaman – kini, waktu diburu, dikejar, untuk mencapai sesuatu sebelum usia tua. Hary Purnomo ‘Ponk-q’ melihat gejala ini dan menuangkan dalam karyanya Race Againts The Time, di mana dia melukis beberapa siluet manusia dengan benang terikat di tubuh mereka berlomba mencapai garis finish, yaitu, waktu.

Keterbatasan waktu bagi penduduk kota Jakarta, membuat dunia pun tidak lagi berwarna ceria. Ambisi, hasrat atau nafsu berpacu untuk mendapatkan suatu kemapanan hidup ala perkotaan besar. Kegelapan batin semacam itulah yang berhasil ditangkap oleh pelukis Made Toris Mahendra dalam karyanya yang berjudul Syndrom, Friend, dan Mind Conqueror. Ironis ditemukan dalam karya Friend. Ketika teman berkumpul untuk lain waktu cakar-cakaran ibarat macan yang kelaparan. Pergulatan nafsu manusia terasa kental di sini. Pergulatan itu juga ditampilkan oleh pelukis Stanislaus Hari Mulyanto dengan judul Between Heaven and Hell, dengan pertentangan dalam relung-relung kejiwaan manusia. Pelukis lain yang juga menangkap suasana kelam dalam kehidupan di Jakarta adalah Cecep 'Kekev' Rusyanto dengan karyanya “Jakarta...Amazing!” dan Sebatas Impian dan Boyke Aditya Khrisna S dalam karya Di Bawah Permukaan dan Karam Sebelum Berlabuh.

Bila beberapa pelukis menangkap tema ke dalam sesuatu rasa yang gelap, tidak demikian dengan pelukis seperti Hono Sun. Dalam karya Pergi ke Bulan, seorang supir becak membawa becaknya di atas awan, dengan keriangan bak anak kecil. Di sini tertangkap atmosfer keceriaan meski terkesan imajiner atau ilusi. Sedangkan, dalam karyanya yang lain, Penghijauan, gedung-gedung diberi warna hijau seolah mengindikasikan gaya hidup eco office yang mulai trend di Jakarta. Setidaknya, optimisme masih mewarnai nafas penduduk diantara pesimisme tentang kehidupan perkotaan.

Sedangkan pelukis lainnya memilih berbicara tentang realita hidup sehari-hari di Jakarta. Ada yang berbicara tentang tata kota dan kaitannya dengan tata letak patung di Jakarta. Tata kota Jakarta yang tidak beraturan akibat pembangunan ekstrim membuat patung pun tidak mendapatkan lokasi yang semestinya. Hal ini yang nampak dalam karya Vincensius Dwimawan yang berjudul Unjuk Gigi. Sementara Azri Riyadi menangkap gejala tak adanya konsistensi pembangunan di Jakarta. Gedung-gedung dibikin, fasilitas transportasi umum dikerjakan, lahan dibabat habis, untuk pembangunan yang belum selesai sampai kini. Sedangkan, pelukis Widiyatno menampilkan orang tua dengan opletnya – pasangan yang sama-sama hampir tersingkir dalam arus modernisasi di Jakarta. Dalam Selamat Datang Polusi, Sumarjo mengisahkan polusi yang kian pekat membuat penduduknya hidup dalam masker. Hal yang sama juga ditemukan dalam lukisan karya Ady laksono, Dwiko Raharjo, Herman Widianto, Said Budiarto,dan Widiyatno.

“Keterpercahan, kegemilangan, tragedi, ilusi, imajinasi tanpa batas, kegembiraan, sesuatu yang bermakna dan omong kosong berpadu menjadi satu dalam tingkah polah manusia yang menghuni kota,” Wicaksono Adi, kurator, menjelaskan. Kesemua permasalahan di Jakarta adalah bagian yang tak terpisahkan dari nafas penduduknya, suatu paradoks yang berdenyut dalam nadi modernitas perkotaan.

(Utami D. Kusumawati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar