Catatan tentang ayah. Bagian satu.
Kerikil.
“Bantu aku memberi nama kudaku,” seorang teman meminta tolong padaku.
Semesta. Kerikil.
Kedua nama itu yang terbersit dalam benakku. Secepat kilat. Ada perasaan hangat saat mengucapkannya.
“Bagus. Aku hendak memakai kerikil untuk kudaku,” ujar temanku melalui pesan singkat.
Saat itu aku sedang berada di jalan, dan otakku turut mengembara seperti roda mobil yang terus berputar menyusuri jalanan.
Kerikil.
Aku ingat percakapan dengan ibu siang tadi. Ketika ban mobil kami kempis karena terkena paku. Kami memutuskan untuk mencari tempat tambal ban. Sementara menunggu ban selesai di tambal, ibu membuka percakapan denganku.
“Lihat ayahmu. Dia sudah pandai pakai sandal jepit.”
Aku mengangguk, melihat ayah dengan susah payah menjepit sandal dengan kedua jari kakinya. Alih-alih mengangkat sandal, dia berjalan dengan menyeret sandal. Terlihat kesusahan, namun ayah berusaha keras melatih kaki-kakinya.
“Gak terasa ya, sudah setahun sejak ayahmu terkena serangan strokenya.”
Aku mengangguk lagi. Menatap wajah ayah yang semakin lama dipenuhi guratan, kerutan, dan tampangnya kini jauh menua di banding sebelum terkena stroke.
Ya. Aku ingat masa-masa itu. Saat itu, aku sedang khawatir, di kantorku sedang ada isu pemutusan hubungan kerja karena imbas krisis moneter pada bidang percetakan dan buku pelajaran. Isunya, karyawan baru yang kemungkinan besar terkena phk. Aku sangat cemas.
Awal masuk kerja di kantor itu orangtua pun sudah tidak setuju. Tidak bermasa depan dan tidak terkenal namanya, sedangkan aku menganggap kerja di tempat itu merupakan suatu awal menuju cita-citaku. Menjadi penulis profesional.
Sedang, berita phk itu sama saja akan memupuskan cita-citaku. Orangtuaku akan menyalahkanku, dan membuat keputusanku semakin nyata salah sejak awal. Di tengah kebimbanganku, antara kehilangan pekerjaan atau tidak, datang berita itu.
“Ayahmu terkena stroke.”
Aku seolah kehilangan pegangangku saat itu.
Ayah terkena stroke berarti aku lantas menjadi pegangan keluargaku, termasuk adik-adikku dan aku mencoba lari dari tanggungjawab itu. Kerja di dunia percetakan, tidak bergaji besar. Dan menuntut waktu banyak pula saat dikejar deadline. Usai kejadian ini, orangtuaku akan semakin menuntut aku mencari pekerjaan yang sesuai, menurut pemikiran mereka. Prihatin keadaan. Beberapa orang bahkan, mengkhawatirkanku, dan menyarankan untuk segera menikah.
Ketika ayah stroke, awalnya aku tetap bersikeras bahwa duniaku tetap sama. Aku tetap punya waktu untuk diriku sendiri, untuk mencapai cita-citaku. Di kantorku, aku, bersama para editor muda lainnya, membuat mini newsletter, sebagai bentuk idealisme dan kepuasan batin kami. Mungkin misi idealisme kami tercapai, tapi apa yang aku peroleh untuk hidupku? Setidaknya orang-orang yang aku cintai?
Mini newsletter tidak akan menyembuhkan penyakit ayah. Mini newsletter tidak akan mengurangi beban ibu. Mini newsletter tidak akan membantu keuangan adik-adikku atau mempererat hubunganku dengan mereka. Tetapi, aku tetap bekerja di sana.
“Ibu sebenarnya juga suka kesal sendiri kalau ayahmu sudah mulai menuntut dan tidak mau mengalah. Merasa diri yang paling benar. Ibu juga suka marah-marah kalau ayahmu seperti itu, tetapi usai berlaku demikian, suka sadar, ayahmu sakit. Dan, tidak berhak diperlakukan seperti itu. Jadi, ibu akan meminta maaf pada ayahmu,” lanjut Ibu.
Aku teringat kejadian tadi malam, ketika ayah mulai mengamuk karena handphonenya rusak. Aku diomeli habis-habisan, dan aku menjawab omelan ayah, sekali. Meski tidak sahut menyahut, tapi aku sebal sekali dengan ayah, dan perasaan itu menjadi terakumulasi. Aku menangis tiada henti. Menyalahkan keadaan. Mengapa, kami menjadi tidak punya pilihan, kenapa hidup tidak adil. Kenapa kejadian buruk justru menimpa saat aku sedang menapaki cita-citaku??
“Tahu, semalam ibu khawatir sekali. Ayahmu sudah bilang pening, mukanya sudah pucat.”
“Oh ya?”
“Ya. Saat semalam kita berhenti di rumah Mbah Ijen, ayahmu tidak mau solat di sana karena masalah tempat parkir yang sempit. sedang kakek nenekmu ingin berkunjung ke tempat mbah ijen, dan anak-anaknya malah pergi duluan ke mesjid. Ayah bilang kepalanya pusing. Jantungnya berdebar, dan ibu takut sekali.”
Aku meresapi ucapan ibu dan obrolan kami beberapa bulan silam muncul di memoriku. Saat itu ibu baru saja mimpi sesuatu. Ibu bercerita padaku. Intinya, aku menangkap ibu belum siap kehilangan ayah. Oleh karena itu, ibu menjaga habis-habisan ayah. Ibu takut kehilangan ayah.
Kejadian ayah stroke menimpa keluarga kami begitu cepat. Aku menyimpulkan kami belum sama-sama siap.
“Ibu belajar untuk sabar sekarang,”ujar ibu pelan.
“Meski sebagai manusia, tetap ada ya batasnya. Cuma, ibu suka kasihan melihat keadaan ayahmu sekarang. Ibu ingin anak-anaknya menyadari, bahwa ayah mereka sakit. Keadaan sudah tidak sama seperti dulu lagi. Harus pada lebih peka,” suara ibu bergetar. Ada kesedihan di sana.
Aku mencoba meresapi kalimat ibu. Mengapa ibu begitu tenggelam dengan kesedihan, sedangkan hidup harus terus berjalan ke depan? Apa ternyata aku yang tidak peka, atau, ibu yang masih belum siap dengan keadaan ini, atau ternyata aku yang mencoba lari dengan keadaan ini dan tak mengerti segala sesuatunya?
Kerikil. Aku menyukai nama itu. Saat ini.
Kamis, 24 September 2009
Dan Ketika Anak-Anakku Terlahir
Catatan harian tentang Ibu. Bagian pertama.
Dan Ketika Anak-Anakku Terlahir.
Malam, pukul dua tepat.
Seorang bayi dengan kulit putih, telah lahir. Setelah mengandung selama Sembilan bulan, akhirnya bayi itu terlahir juga.
Saking senang dan bangganya, ibu tidak membiarkan bayinya digendong siapapun, selama beberapa jam.
Bahkan setelah dia mengizinkan, setiap orang mesti mencuci bersih tangannya dahulu, sebelum menggendong bayi perempuan putih tersebut. Kegiatan inisial mencuci tangan itu, kelak adalah suatu simbol, bahwa dia menginginkan anaknya tetap bersih dan suci seperti bulan kelahirannya, di bulan Ramadhan.
Anak pertamanya, perempuan. Senyum ibu merekah, kehangatan hadir dalam dadanya.
Nafasnya kembali beraturan setelah beberapa lama berdetak dengan cepat. Didekapnya erat bayi perempuan itu.
*
Ibu tahu untuk bisa bertahan dalam hidup, manusia mesti pintar. Terlahir dalam keluarga dengan ekonomi pas-pasan, kakek seorang satpam sedangkan nenek tidak bekerja, karena mengurusi sembilan anak-anaknya, ibu paham betul bahwa pendidikan baik sangat penting bagi anak-anaknya.
Ketika anak pertamanya lahir, dia meminta bantuan kepada ibu sesepuh agar anaknya kelak, menjadi manusia pintar.
Maka, ibu sesepuh, yang terkenal paling pandai mendoakan di seluruh kampung, menyuruh ibu menyiapkan peralatan tulis dan gambar.
Pensil, pulpen, penghapus, buku kosong, buku gambar pun disiapkan. Ibu sesepuh itu menanam peralatan tulis dan gambar tersebut bersama dengan ari-ari sang anak. Sesudahnya, dia mendoakan.
“Semoga kelak kamu pandai menggunakan alat-alat tersebut, nak, dan menganggapnya seperti sodara sejiwamu sendiri (ari-arimu).”
Dan, kelak, doa itu benar-benar mujarab. Karena, diantara empat anak ibu, hanya anak pertamanyalah, yang dia lihat paling tergila-gila dengan tulis menulis, menggambar, dan membaca.
Percaya tak percaya. Meski, sang anak sendiri percaya bahwa hasratnya muncul justru karena keinginan kuat ibu, yang semenjak kecil sudah mendekatkannya ke dunia tersebut.
*
Ketika anak-anakku terlahir, aku ingin menyayangi mereka sepenuh hati dan membaktikan diri menjadi ibu yang baik, setidaknya buat suami dan anak-anakku sendiri.
Membimbing mereka sampai kelak mereka memilih jalan mereka sendiri, dan tak takut lagi mengarungi luasnya hidup. Berada di sisi mereka, sam pai kelak mereka berani menghadapi hidup.
Seperti yang kupelajari dari para ibu sebelumku.
Dan Ketika Anak-Anakku Terlahir.
Malam, pukul dua tepat.
Seorang bayi dengan kulit putih, telah lahir. Setelah mengandung selama Sembilan bulan, akhirnya bayi itu terlahir juga.
Saking senang dan bangganya, ibu tidak membiarkan bayinya digendong siapapun, selama beberapa jam.
Bahkan setelah dia mengizinkan, setiap orang mesti mencuci bersih tangannya dahulu, sebelum menggendong bayi perempuan putih tersebut. Kegiatan inisial mencuci tangan itu, kelak adalah suatu simbol, bahwa dia menginginkan anaknya tetap bersih dan suci seperti bulan kelahirannya, di bulan Ramadhan.
Anak pertamanya, perempuan. Senyum ibu merekah, kehangatan hadir dalam dadanya.
Nafasnya kembali beraturan setelah beberapa lama berdetak dengan cepat. Didekapnya erat bayi perempuan itu.
*
Ibu tahu untuk bisa bertahan dalam hidup, manusia mesti pintar. Terlahir dalam keluarga dengan ekonomi pas-pasan, kakek seorang satpam sedangkan nenek tidak bekerja, karena mengurusi sembilan anak-anaknya, ibu paham betul bahwa pendidikan baik sangat penting bagi anak-anaknya.
Ketika anak pertamanya lahir, dia meminta bantuan kepada ibu sesepuh agar anaknya kelak, menjadi manusia pintar.
Maka, ibu sesepuh, yang terkenal paling pandai mendoakan di seluruh kampung, menyuruh ibu menyiapkan peralatan tulis dan gambar.
Pensil, pulpen, penghapus, buku kosong, buku gambar pun disiapkan. Ibu sesepuh itu menanam peralatan tulis dan gambar tersebut bersama dengan ari-ari sang anak. Sesudahnya, dia mendoakan.
“Semoga kelak kamu pandai menggunakan alat-alat tersebut, nak, dan menganggapnya seperti sodara sejiwamu sendiri (ari-arimu).”
Dan, kelak, doa itu benar-benar mujarab. Karena, diantara empat anak ibu, hanya anak pertamanyalah, yang dia lihat paling tergila-gila dengan tulis menulis, menggambar, dan membaca.
Percaya tak percaya. Meski, sang anak sendiri percaya bahwa hasratnya muncul justru karena keinginan kuat ibu, yang semenjak kecil sudah mendekatkannya ke dunia tersebut.
*
Ketika anak-anakku terlahir, aku ingin menyayangi mereka sepenuh hati dan membaktikan diri menjadi ibu yang baik, setidaknya buat suami dan anak-anakku sendiri.
Membimbing mereka sampai kelak mereka memilih jalan mereka sendiri, dan tak takut lagi mengarungi luasnya hidup. Berada di sisi mereka, sam pai kelak mereka berani menghadapi hidup.
Seperti yang kupelajari dari para ibu sebelumku.
Prolog
Awalnya, aku enggan menulis jurnal harian tentang hidupku di website umum. Egoku berbicara, bercerita tentang hidup sendiri merupakan bentuk dramatisasi hidup. Mencari perhatian. Suatu tindakan tak terpuji bagi seorang yang bercita-cita menjadi penulis. Bukan suatu etika karena penulis telah mati saat dia mulai menulis. Meski kerapkali, aku memasukkan emosi yang kudapat dalam hidupku ke dalam tulisan-tulisanku. Aku enggan menulis tentang hidupku. Sampai, suatu perjalanan ke kampung halaman menyadarkanku.
Hidupku, kejadian apapun yang berlangsung di dalamnya, justru yang mendorongku untuk menulis, menulis, dan terus menulis. Jika tidak ada hidupku, tidak akan terlahir keinginan kuat dari diriku untuk menulis. Bahkan perjalanan hidupku sendiri, mengapa aku mengambil kuliah di jurusan sastra inggris, lalu bekerja sebagai editor di penerbit Erlangga, dan sekarang menjadi redaktur, dengan sangat bangga kuucapkan, FITUR, di suatu majalah fashion, Dewi, merupakan bagian penting yang membentuk esensi hasrat menulis dalam diriku.
Tapi, bukan tentang diriku lah yang akan kutulis. Karena, di balik kejadian-kejadian itu, ada suatu pengorbanan yang dilakukan deminya. Dan, sekiranya tulisan ini mampu ‘menyentuh’ hati para pembaca, kepada merekalah kudedikasikan semua ini. Dan, untuk itulah, akhirnya aku memutuskan untuk menulis jurnal harian kehidupanku. Karena mereka, keluargaku. Belum mampu memberikan hal apapun atas pengorbanan tersebut, maka tulisan ini mudah-mudahan bisa membantu mereka, untuk eksis dan berbagi kepada sesama, mengenai pengalaman hidup masing-masing anggotanya, yang berwarna.
Selamat membaca.
Hidupku, kejadian apapun yang berlangsung di dalamnya, justru yang mendorongku untuk menulis, menulis, dan terus menulis. Jika tidak ada hidupku, tidak akan terlahir keinginan kuat dari diriku untuk menulis. Bahkan perjalanan hidupku sendiri, mengapa aku mengambil kuliah di jurusan sastra inggris, lalu bekerja sebagai editor di penerbit Erlangga, dan sekarang menjadi redaktur, dengan sangat bangga kuucapkan, FITUR, di suatu majalah fashion, Dewi, merupakan bagian penting yang membentuk esensi hasrat menulis dalam diriku.
Tapi, bukan tentang diriku lah yang akan kutulis. Karena, di balik kejadian-kejadian itu, ada suatu pengorbanan yang dilakukan deminya. Dan, sekiranya tulisan ini mampu ‘menyentuh’ hati para pembaca, kepada merekalah kudedikasikan semua ini. Dan, untuk itulah, akhirnya aku memutuskan untuk menulis jurnal harian kehidupanku. Karena mereka, keluargaku. Belum mampu memberikan hal apapun atas pengorbanan tersebut, maka tulisan ini mudah-mudahan bisa membantu mereka, untuk eksis dan berbagi kepada sesama, mengenai pengalaman hidup masing-masing anggotanya, yang berwarna.
Selamat membaca.
Senin, 06 Juli 2009
Karya Keemasan
Karya Keemasan
Usia lima puluh tahun bagi para seniman tidak hadir sekedar angka, dia mewakili suatu pembentukan ciri khas kreativitas karya seniman tersebut.
Dalam hidup manusia, usia lima puluh tahun dianggap sebagai periode masa tua. Rambut memutih, tubuh keriput, dan kemampuan baik fisik dan batin menurun. Periode ini adalah momen yang tepat bagi individu untuk berkontemplasi dan menapaki kembali perjalanan hidupnya seperti yang dikatakan psikolog terkenal asal Jerman, Erik Erikson. Berangkat dari ide tersebut, karya beberapa seniman yang telah mencapai usia lima puluh tahun dikumpulkan dalam pameran bertajuk The Golden Age di Akili Art Museum, Kedoya, pada awal Juni silam. Maka, dapat ditemui karya-karya seniman seperti Agus Suwage, Anusapati, Dede Erie Supria, Eddie Harra, Tisna Sanjaya, dan Yani Mariani Sastranegara menunjukkan proses perjalanan kreasi seni mereka.
“Pameran The Golden Age ini terutama berupaya untuk melacak kembali perjalanan yang ditempuh oleh seniman-seniman tersebut dalam kurun dua puluh tahun terakhir. Untuk melihat kecenderungan umum dari generasi tersebut terutama berkaitan dengan visi estetik maupun tema karya,” Alia Swastika, kurator pameran, menjelaskan.
Persamaan dari keenam seniman tersebut selain usia adalah lahir dari institusi pendidikan seni. Agus Suwage dan Tisna Sanjaya lulusan Institut Teknik Bandung, Anusapati dan Dede alumni Akademi Seni Rupa Indonesia, Eddie Hara dari Institut Seni Indonesia, dan Yani Mariani lulusan LPKJ. Dalam didikan akademis para seniman ini menemukan identitasnya sendiri kemudian berkembang sesuai dengan latar belakang situasi politik pada era itu, tahun 1980-an.
Dede Eri Supria dalam pameran ini menampilkan narasi dalam lukisan Balada Penarik Gerobak. Terdapat alur berkisah tentang nasib tragis seorang penarik gerobak. Di sini, Dede berusaha untuk menangkap fenomena yang sering terjadi pada kaum marjinal di perkotaan besar – ciri khas dari karya Dede Eri Supria. Sedangkan, dalam karya Melihat Surga Bagi Anaknya, Yani Mariani Sastranegara membuat sebuah patung perempuan duduk bersila dengan tangan memegang lilitan kain di kepala sambil menatap kaki kirinya. Tatapan patung ke arah kaki kiri seolah menyiratkan bahwa surga ada di telapak kaki Ibu. Yani Mariani merupakan seorang perupa patung yang terkenal dengan ciri personalnya.
Sedangkan, Anusapati, perupa asal Yogyakarta, dikenal dengan ciri khas penggunaan bahan bambu dan kayu dalam karya-karyanya. Penggunaan medium tersebut merupakan bentuk ketertarikan Anusapati terhadap persoalan ekologi. Dalam karyanya yang berjudul Tok! Tok!, kayu digunakan sebagai bahan pembentuk benda serupa kentungan. Selain penggunaan material dari alam, karya Anusapati juga lebih banyak berbentuk barang-barang yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional. Bila Anusapati menekankan aspek tradisional pada karyanya, Eddie Hara mengambil reprentasi simbol hewan dalam lukisannya. Dalam mitologi Buddha dan Hindu, hewan tersebut hadir dalam bentuk gajah, ayam, burung, dan ikan. Selain mengambil simbol hewan, Eddie juga memasukkan unsur komik ke dalam karyanya. Warna lukisannya pun didominasi dengan nuansa terang seperti merah muda atau kuning dan tak jarang menghasilkan pertentangan.
Dua pelukis terakhir, Tisna Sanjaya dan Agus Suwage, sama-sama sering mengangkat persoalan sosial dan politik di tanah air. Dalam ...Gambar Gelap... dan ...Gambar Politik... karya Tisna Sanjaya, nuansa sosial dan politik terasa kental. Tisna Sanjaya terkenal dengan penggunaan bahan unik untuk karyanya diantaranya, arang, pelat master, pelat besi, atau sekop. Sedangkan unsur politik, dalam karya Agus Suwage, Potret Diri Sebagai Nero, ditampilkan dalam tema kepemimpinan tirani dan kejam model Nero, kaisar Romawi.
Dengan menelusuri kembali karya masing-masing seniman, muncul suatu gambaran latar belakang yang mewarnai proses kreativitas diri seniman bersangkutan. Akhirnya didapatkan suatu karya keemasan di dalam denyut nadi seniman-seniman berusia lima puluh tahun.
(Utami. D.Kusumawati)
Usia lima puluh tahun bagi para seniman tidak hadir sekedar angka, dia mewakili suatu pembentukan ciri khas kreativitas karya seniman tersebut.
Dalam hidup manusia, usia lima puluh tahun dianggap sebagai periode masa tua. Rambut memutih, tubuh keriput, dan kemampuan baik fisik dan batin menurun. Periode ini adalah momen yang tepat bagi individu untuk berkontemplasi dan menapaki kembali perjalanan hidupnya seperti yang dikatakan psikolog terkenal asal Jerman, Erik Erikson. Berangkat dari ide tersebut, karya beberapa seniman yang telah mencapai usia lima puluh tahun dikumpulkan dalam pameran bertajuk The Golden Age di Akili Art Museum, Kedoya, pada awal Juni silam. Maka, dapat ditemui karya-karya seniman seperti Agus Suwage, Anusapati, Dede Erie Supria, Eddie Harra, Tisna Sanjaya, dan Yani Mariani Sastranegara menunjukkan proses perjalanan kreasi seni mereka.
“Pameran The Golden Age ini terutama berupaya untuk melacak kembali perjalanan yang ditempuh oleh seniman-seniman tersebut dalam kurun dua puluh tahun terakhir. Untuk melihat kecenderungan umum dari generasi tersebut terutama berkaitan dengan visi estetik maupun tema karya,” Alia Swastika, kurator pameran, menjelaskan.
Persamaan dari keenam seniman tersebut selain usia adalah lahir dari institusi pendidikan seni. Agus Suwage dan Tisna Sanjaya lulusan Institut Teknik Bandung, Anusapati dan Dede alumni Akademi Seni Rupa Indonesia, Eddie Hara dari Institut Seni Indonesia, dan Yani Mariani lulusan LPKJ. Dalam didikan akademis para seniman ini menemukan identitasnya sendiri kemudian berkembang sesuai dengan latar belakang situasi politik pada era itu, tahun 1980-an.
Dede Eri Supria dalam pameran ini menampilkan narasi dalam lukisan Balada Penarik Gerobak. Terdapat alur berkisah tentang nasib tragis seorang penarik gerobak. Di sini, Dede berusaha untuk menangkap fenomena yang sering terjadi pada kaum marjinal di perkotaan besar – ciri khas dari karya Dede Eri Supria. Sedangkan, dalam karya Melihat Surga Bagi Anaknya, Yani Mariani Sastranegara membuat sebuah patung perempuan duduk bersila dengan tangan memegang lilitan kain di kepala sambil menatap kaki kirinya. Tatapan patung ke arah kaki kiri seolah menyiratkan bahwa surga ada di telapak kaki Ibu. Yani Mariani merupakan seorang perupa patung yang terkenal dengan ciri personalnya.
Sedangkan, Anusapati, perupa asal Yogyakarta, dikenal dengan ciri khas penggunaan bahan bambu dan kayu dalam karya-karyanya. Penggunaan medium tersebut merupakan bentuk ketertarikan Anusapati terhadap persoalan ekologi. Dalam karyanya yang berjudul Tok! Tok!, kayu digunakan sebagai bahan pembentuk benda serupa kentungan. Selain penggunaan material dari alam, karya Anusapati juga lebih banyak berbentuk barang-barang yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional. Bila Anusapati menekankan aspek tradisional pada karyanya, Eddie Hara mengambil reprentasi simbol hewan dalam lukisannya. Dalam mitologi Buddha dan Hindu, hewan tersebut hadir dalam bentuk gajah, ayam, burung, dan ikan. Selain mengambil simbol hewan, Eddie juga memasukkan unsur komik ke dalam karyanya. Warna lukisannya pun didominasi dengan nuansa terang seperti merah muda atau kuning dan tak jarang menghasilkan pertentangan.
Dua pelukis terakhir, Tisna Sanjaya dan Agus Suwage, sama-sama sering mengangkat persoalan sosial dan politik di tanah air. Dalam ...Gambar Gelap... dan ...Gambar Politik... karya Tisna Sanjaya, nuansa sosial dan politik terasa kental. Tisna Sanjaya terkenal dengan penggunaan bahan unik untuk karyanya diantaranya, arang, pelat master, pelat besi, atau sekop. Sedangkan unsur politik, dalam karya Agus Suwage, Potret Diri Sebagai Nero, ditampilkan dalam tema kepemimpinan tirani dan kejam model Nero, kaisar Romawi.
Dengan menelusuri kembali karya masing-masing seniman, muncul suatu gambaran latar belakang yang mewarnai proses kreativitas diri seniman bersangkutan. Akhirnya didapatkan suatu karya keemasan di dalam denyut nadi seniman-seniman berusia lima puluh tahun.
(Utami. D.Kusumawati)
Dan derita pun jadi jenaka…
Dan derita pun jadi jenaka…
Di tangan Ugo Untoro, pengorbanan dan penderitaan spiritual berubah menjadi sesuatu yang begitu cair, personal, dan jenaka.
Konsep penderitaan tidak selamanya bernuansa serius, tragis dan heroik. Ia juga bisa menjelma menjadi sesuatu yang jenaka, kendati tak harus kehilangan makna. Berangkat dari ide tersebut, Ugo mencoba untuk menggali sesuatu yang personal, yang diangkat dari kerinduan mencapai sesuatu yang spiritual: Tuhan. Penelusuran itu lantas membawanya bersinggungan dengan berbagai simbol yang memungkinkannya terhubung pada makna ketuhanan. Dan, salib - terlepas dari simbol religi- memberi sebuah pengalaman inderawi yang lantas ia selami. Rasa Ugo yang begitu kuat membuatnya kemudian mampu ‘menyerap’ rasa sakit yang terkandung dalam simbol itu, menjadi sebuah pengalaman ragawi. Kesakitan yang mengingatkan pada konsep penderitaan yang telah ada pada jaman sebelum kemunculan agama, sebagai upaya pembersihan diri untuk mencapai kesucian hingga layak bertemu Tuhan. Maka, ruang pameran di Nadi Gallery, Puri Indah, pun dipenuhi dengan patung berbagai ekspresi yang disiksa di kayu salib pada pertengahan Juni silam.
Judul Cross sendiri memiliki dualitas makna, dikotomi antara kutub positif dan negatif –kepasrahan dan kelemahan. Kepasrahan dimetaforakan dengan posisi penyaliban – dimana orang yang disalib pasrah menerima kesakitan (atau hukuman) atas tubuh dan dirinya. Sedangkan kelemahan dilambangkan dengan salib yang sering terkait sebagai simbol religius. Sebagai simbol religius, visualisasi salib memunculkan suatu perasaan lemah dalam diri manusia – karena pada titik ini manusia menilai dirinya kecil (dibanding Tuhan). Oleh karena itu, makna yang hadir dalam 'Cross' sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari nuansa spiritual.
Spiritualitas karya Ugo ditampilkan dalam pembagian warna patung – yang mencirikan kadar kedekatan dengan Tuhan. Semakin terang dan cerah warna patung, semakin dekat sisi spiritualismenya. Untuk tingkat terendah, Ugo memberi guratan pada tembok di sisi patungnya yang berwarna coklat tua berupa kalimat cinta atau ungkapan kerinduannya. Di tahap ini Ugo seolah menjelaskan bahwa spiritualisme manusia masih lekat dengan keduniawian seperti yang bisa dilihat dalam karya Cross no. 7, Cross no.8, Cross no. 9, atau Cross no. 10. Sedang di tahap tengah dan tinggi, Ugo membiarkan karyanya bersih selain memberikan nuansa warna yang lain dalam karya Cross no.6, Cross no. 11, atau Cross no. 15. Bahkan dalam level tertinggi – ia memberi warna biru pada patungnya, simbol warna pencerahan. Biru yang umumnya melambangkan kesedihan atau tragedi, justru dimaknai sebagai tercapainya keintiman dengan Tuhan. “ Seperti level stupa pada Borobudur – yang terbagi menjadi tiga. Begitu pula karya saya terbagi atas tiga level dalam tahap mencapai sesuatu yang divine atau suci,” Ugo menjelaskan.
Meski terkesan serius, sebenarnya ia ingin mengangkat kejenakaan dari sebuah penderitaan. Bagaimana bisa ada humor dalam rasa sakit? “ Awalnya saya ingin memunculkan sesuatu yang ringan dan lucu dalam karya ini. Namun, nampaknya tidak terlihat demikian,” terangnya. Tapi Enin Supriyanto, kurator pameran ini tetap merasakan hal itu. Ia beranggapan, ketika membayangkan sesuatu yang agung, sesungguhnya Ugo (hanya) 'kangen pada seseorang yang kita cintai' bukan pada sesuatu yang disebut heroisme. Di sini, tersirat kejahilan yang menyentil dari kreativitas Ugo Untoro.
Konsep penderitaan yang pada jaman dahulu bersifat sangat heroik dan agung oleh Ugo diberikan sentuhan personal dengan mengangkat rasa rindu sebagai awal penderitaan tubuh untuk mencapai spiritualisme. Secara keseluruhan, rasa sakit atas kerinduan terhadap orang yang dicintai seolah menunjukkan upaya eksistensi manusia untuk lebih memahami diri dan Tuhannya.
(Utami. D. Kusumawati)
Di tangan Ugo Untoro, pengorbanan dan penderitaan spiritual berubah menjadi sesuatu yang begitu cair, personal, dan jenaka.
Konsep penderitaan tidak selamanya bernuansa serius, tragis dan heroik. Ia juga bisa menjelma menjadi sesuatu yang jenaka, kendati tak harus kehilangan makna. Berangkat dari ide tersebut, Ugo mencoba untuk menggali sesuatu yang personal, yang diangkat dari kerinduan mencapai sesuatu yang spiritual: Tuhan. Penelusuran itu lantas membawanya bersinggungan dengan berbagai simbol yang memungkinkannya terhubung pada makna ketuhanan. Dan, salib - terlepas dari simbol religi- memberi sebuah pengalaman inderawi yang lantas ia selami. Rasa Ugo yang begitu kuat membuatnya kemudian mampu ‘menyerap’ rasa sakit yang terkandung dalam simbol itu, menjadi sebuah pengalaman ragawi. Kesakitan yang mengingatkan pada konsep penderitaan yang telah ada pada jaman sebelum kemunculan agama, sebagai upaya pembersihan diri untuk mencapai kesucian hingga layak bertemu Tuhan. Maka, ruang pameran di Nadi Gallery, Puri Indah, pun dipenuhi dengan patung berbagai ekspresi yang disiksa di kayu salib pada pertengahan Juni silam.
Judul Cross sendiri memiliki dualitas makna, dikotomi antara kutub positif dan negatif –kepasrahan dan kelemahan. Kepasrahan dimetaforakan dengan posisi penyaliban – dimana orang yang disalib pasrah menerima kesakitan (atau hukuman) atas tubuh dan dirinya. Sedangkan kelemahan dilambangkan dengan salib yang sering terkait sebagai simbol religius. Sebagai simbol religius, visualisasi salib memunculkan suatu perasaan lemah dalam diri manusia – karena pada titik ini manusia menilai dirinya kecil (dibanding Tuhan). Oleh karena itu, makna yang hadir dalam 'Cross' sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari nuansa spiritual.
Spiritualitas karya Ugo ditampilkan dalam pembagian warna patung – yang mencirikan kadar kedekatan dengan Tuhan. Semakin terang dan cerah warna patung, semakin dekat sisi spiritualismenya. Untuk tingkat terendah, Ugo memberi guratan pada tembok di sisi patungnya yang berwarna coklat tua berupa kalimat cinta atau ungkapan kerinduannya. Di tahap ini Ugo seolah menjelaskan bahwa spiritualisme manusia masih lekat dengan keduniawian seperti yang bisa dilihat dalam karya Cross no. 7, Cross no.8, Cross no. 9, atau Cross no. 10. Sedang di tahap tengah dan tinggi, Ugo membiarkan karyanya bersih selain memberikan nuansa warna yang lain dalam karya Cross no.6, Cross no. 11, atau Cross no. 15. Bahkan dalam level tertinggi – ia memberi warna biru pada patungnya, simbol warna pencerahan. Biru yang umumnya melambangkan kesedihan atau tragedi, justru dimaknai sebagai tercapainya keintiman dengan Tuhan. “ Seperti level stupa pada Borobudur – yang terbagi menjadi tiga. Begitu pula karya saya terbagi atas tiga level dalam tahap mencapai sesuatu yang divine atau suci,” Ugo menjelaskan.
Meski terkesan serius, sebenarnya ia ingin mengangkat kejenakaan dari sebuah penderitaan. Bagaimana bisa ada humor dalam rasa sakit? “ Awalnya saya ingin memunculkan sesuatu yang ringan dan lucu dalam karya ini. Namun, nampaknya tidak terlihat demikian,” terangnya. Tapi Enin Supriyanto, kurator pameran ini tetap merasakan hal itu. Ia beranggapan, ketika membayangkan sesuatu yang agung, sesungguhnya Ugo (hanya) 'kangen pada seseorang yang kita cintai' bukan pada sesuatu yang disebut heroisme. Di sini, tersirat kejahilan yang menyentil dari kreativitas Ugo Untoro.
Konsep penderitaan yang pada jaman dahulu bersifat sangat heroik dan agung oleh Ugo diberikan sentuhan personal dengan mengangkat rasa rindu sebagai awal penderitaan tubuh untuk mencapai spiritualisme. Secara keseluruhan, rasa sakit atas kerinduan terhadap orang yang dicintai seolah menunjukkan upaya eksistensi manusia untuk lebih memahami diri dan Tuhannya.
(Utami. D. Kusumawati)
Lakon Hidup dalam Lelangen Beksan
Lakon Hidup dalam Lelangen Beksan
Hidup adalah gerak batin yang berjalan dari satu lakon ke lakon lainnya. Itulah yang terekam dalam tarian Bedhaya yang menyuguhkan serangkaian makna dalam gerak dan tembangnya.
Adaptasi kisah klasik Jawa ke dalam tarian merupakan esensi yang tertuang dalam tarian Bedhaya. Pakem itu masih dipegang teguh oleh grup tari Padnecwara, seperti tampak dalam pertunjukan Lelangen Beksan di Teater Salihara, Pasar Minggu. Empat komposisi tari yang ditampilkan malam itu – Beksan Noworetno, Bondo Boyo, Enggar-Enggar, dan Kumolo Bumi – merupakan adaptasi dari kisah Jawa klasik yang sarat makna. Para penari lintas generasi, bekerjasama menampilkan pertunjukkan yang berasal dari pakem Bedhaya yang sarat makna. Namun, meski kental dengan filosofi pembelajaran nurani, empat tarian yang dipertunjukkan malam itu tetap terasa membumi.
Dalam kesegarannya, makna yang selalu menjadi jiwa dalam tarian klasik Jawa, tetap terasa. Makna yang tidak bisa dipisahkan, karena pada dasarnya kesenian adalah salah satu cara manusia memaknai hidup. Maka, tari (Beksan) pun hadir sebagai wadah untuk menuangkan kejadian hidup yang diceritakan oleh leluhur. Itu pula yang ingin dimunculkan dalam Lelangen Beksan. Selain hiburan (Lelangen), penonton bisa mendapatkan makna jika menelaah lebih mendalam terhadap nama, gerakan, dan isi cerita.
Dalam tarian Beksan Noworetno, gubahan Rury Nostalgia, Tuhan menjadi tema sentral tarian ini. Sembilan orang perempuan melenggok dalam gerakan halus, lembut dan sarat filosofi khas Bedhaya, dengan kostum dan gerakan yang serupa yang menjadi ciri khasnya. Dalam budaya Jawa, Tuhan memang selalu ditempatkan pada kedudukan dengan kekuasaan tak terbatas dan maha universal. Penonton seolah diingatkan untuk selalu memohon kepada Tuhan agar mendapatkan bimbingan. Dan meminta Noworetno (pengayoman Tuhan). Tarian ini diiringi oleh gending Ketawang Mangunsih dengan tempo yang lambat.
Nuansa kontemplatif itu segera berubah dinamis tatkala Bondo Boyo dipergelarkan. Jenis tari wireng (keprajuritan) yang biasa ditarikan empat penari lelaki dan dipentaskan di sekitar Pura Mangkunegaran ini, dibuka dengan adegan membawa floret, pedang untuk bermain anggar, serta tameng. Perlengkapan ini dianalogikan sebagai kesiapan mereka maju ke medan perang, membela tanah air. Meski ruh tarian ini berkisah tentang laku ksatria, rasa takzim terhadap Tuhan tetap ditekankan lewat adegan menunduk ketika memulai dan menutup tari. Selaras dengan gerakannya yang dinamis, gamelan pun menggunakan tempo lebih cepat untuk menggambarkan semangat dan gairah para prajurit. Sekilas, tarian ini akan mengingatkan kita pada kisah para ksatria yang rela gugur demi negara dalam serat Tripama gubahan KGPA Mangkunegaran IV.
Retno Maruti, pendiri Padnecwara, tampil apik dengan Wahyu Santoso Prabowo menarikan Enggar-Enggar. Diadaptasi dari kisah percintaan Jawa klasik antara Anjasmara dan Damarwulan pada masa kerajaan Majapahit, gerakan tari muncul sebagai representasi konflik batin yang dialami oleh dua tokoh tersebut. Anjasmara yang enggan melepas suami ke medan perang karena tak rela kehilangan kekasih hatinya, beradu dengan konsistensi semangat bela negara sang suami, Damarwulan. Tembang yang dinyanyikan oleh kedua penari mempertajam nuansa nglangut yang penuh emosi dan kekalutan. Hingga di satu titik, Anjasmara mengerti betapa mulia tujuan suaminya, dan ikhlas menjalani nasib.
Nuansa sublim itu lantas berganti ritme yang lebih trengginas. Dalam sekuen akhir, komposisi Kumolo Bumi menutup pertunjukan malam itu dengan cerita tentang dua putri berbeda budaya yang jatuh hati dan memperebutkan pria yang sama, Jayengrana. Adaninggar, putri Cina yang berguru pada Jayengraga, bertemu dengan Kelaswara, putri dari kerajaan Kelan yang ingin menuntut balas kematian ayahnya. Adu kipas oleh Rury Nostalgia lantas disimbolkan sebagai adegan perang kedua pendekar perempuan itu. Dalam berbagai formasi cantik – berjejer, diagonal, atau melingkar – ‘pertempuran’ kipas itu bersinergi dengan tempo permainan gending yang menjaga alur cerita. Terbunuhnya Adaninggar ditandai dengan adegan di mana Kelaswara mengempaskan kipas ke tubuh putri Cina itu. Dalam tarian pamungkas ini, modifikasi Bedhaya terlihat jelas dengan tempo gerakan yang lebih ritmis dan dinamis. Namun, pakem Bedhaya tetap muncul lewat jumlah penari dan makna tarian yang ditampilkan, misalnya tentang cinta, pengorbanan dan bela negara..
Didirikan oleh pasangan penari senior Retno Maruti dan Sentot Sudiharto pada Maret 1976, Padnecwara memang menjadi kendaraan keduanya untuk memenuhi idealisme mereka mempertahankan tradisi klasik Jawa di tengah euforia tari kontemporer. Grup ini terbukti mampu menunjukkan eksistensinya dalam ranah tari Jawa klasik dengan tampil di berbagai negara dan menelurkan banyak karya, di antaranya Langendriyan Damarwulan (1969), Abimanyu Gugur (1976), Dewabrata (1998), Alap-Alapan Sukesi (2004), dan Potraits of Javanese Dance (2005). Padnecwara juga membuka diri terhadap kemungkinan ‘mengawinkan’ Bedaya dengan tarian klasik daerah lain. Ini mereka buktikan dalam pertunjukan Bedaya Legong Calonarang pada 2006, di mana Retno berkolaborasi dengan Bulantrisna Djelantik, penari legong yang kini menetap di Amerika. Prinsip Retno yang terbuka terhadap khazanah budaya lain ini, memberi peluang kreativitas tergali secara maksimal. (Utami D. Kusumawati)
Hidup adalah gerak batin yang berjalan dari satu lakon ke lakon lainnya. Itulah yang terekam dalam tarian Bedhaya yang menyuguhkan serangkaian makna dalam gerak dan tembangnya.
Adaptasi kisah klasik Jawa ke dalam tarian merupakan esensi yang tertuang dalam tarian Bedhaya. Pakem itu masih dipegang teguh oleh grup tari Padnecwara, seperti tampak dalam pertunjukan Lelangen Beksan di Teater Salihara, Pasar Minggu. Empat komposisi tari yang ditampilkan malam itu – Beksan Noworetno, Bondo Boyo, Enggar-Enggar, dan Kumolo Bumi – merupakan adaptasi dari kisah Jawa klasik yang sarat makna. Para penari lintas generasi, bekerjasama menampilkan pertunjukkan yang berasal dari pakem Bedhaya yang sarat makna. Namun, meski kental dengan filosofi pembelajaran nurani, empat tarian yang dipertunjukkan malam itu tetap terasa membumi.
Dalam kesegarannya, makna yang selalu menjadi jiwa dalam tarian klasik Jawa, tetap terasa. Makna yang tidak bisa dipisahkan, karena pada dasarnya kesenian adalah salah satu cara manusia memaknai hidup. Maka, tari (Beksan) pun hadir sebagai wadah untuk menuangkan kejadian hidup yang diceritakan oleh leluhur. Itu pula yang ingin dimunculkan dalam Lelangen Beksan. Selain hiburan (Lelangen), penonton bisa mendapatkan makna jika menelaah lebih mendalam terhadap nama, gerakan, dan isi cerita.
Dalam tarian Beksan Noworetno, gubahan Rury Nostalgia, Tuhan menjadi tema sentral tarian ini. Sembilan orang perempuan melenggok dalam gerakan halus, lembut dan sarat filosofi khas Bedhaya, dengan kostum dan gerakan yang serupa yang menjadi ciri khasnya. Dalam budaya Jawa, Tuhan memang selalu ditempatkan pada kedudukan dengan kekuasaan tak terbatas dan maha universal. Penonton seolah diingatkan untuk selalu memohon kepada Tuhan agar mendapatkan bimbingan. Dan meminta Noworetno (pengayoman Tuhan). Tarian ini diiringi oleh gending Ketawang Mangunsih dengan tempo yang lambat.
Nuansa kontemplatif itu segera berubah dinamis tatkala Bondo Boyo dipergelarkan. Jenis tari wireng (keprajuritan) yang biasa ditarikan empat penari lelaki dan dipentaskan di sekitar Pura Mangkunegaran ini, dibuka dengan adegan membawa floret, pedang untuk bermain anggar, serta tameng. Perlengkapan ini dianalogikan sebagai kesiapan mereka maju ke medan perang, membela tanah air. Meski ruh tarian ini berkisah tentang laku ksatria, rasa takzim terhadap Tuhan tetap ditekankan lewat adegan menunduk ketika memulai dan menutup tari. Selaras dengan gerakannya yang dinamis, gamelan pun menggunakan tempo lebih cepat untuk menggambarkan semangat dan gairah para prajurit. Sekilas, tarian ini akan mengingatkan kita pada kisah para ksatria yang rela gugur demi negara dalam serat Tripama gubahan KGPA Mangkunegaran IV.
Retno Maruti, pendiri Padnecwara, tampil apik dengan Wahyu Santoso Prabowo menarikan Enggar-Enggar. Diadaptasi dari kisah percintaan Jawa klasik antara Anjasmara dan Damarwulan pada masa kerajaan Majapahit, gerakan tari muncul sebagai representasi konflik batin yang dialami oleh dua tokoh tersebut. Anjasmara yang enggan melepas suami ke medan perang karena tak rela kehilangan kekasih hatinya, beradu dengan konsistensi semangat bela negara sang suami, Damarwulan. Tembang yang dinyanyikan oleh kedua penari mempertajam nuansa nglangut yang penuh emosi dan kekalutan. Hingga di satu titik, Anjasmara mengerti betapa mulia tujuan suaminya, dan ikhlas menjalani nasib.
Nuansa sublim itu lantas berganti ritme yang lebih trengginas. Dalam sekuen akhir, komposisi Kumolo Bumi menutup pertunjukan malam itu dengan cerita tentang dua putri berbeda budaya yang jatuh hati dan memperebutkan pria yang sama, Jayengrana. Adaninggar, putri Cina yang berguru pada Jayengraga, bertemu dengan Kelaswara, putri dari kerajaan Kelan yang ingin menuntut balas kematian ayahnya. Adu kipas oleh Rury Nostalgia lantas disimbolkan sebagai adegan perang kedua pendekar perempuan itu. Dalam berbagai formasi cantik – berjejer, diagonal, atau melingkar – ‘pertempuran’ kipas itu bersinergi dengan tempo permainan gending yang menjaga alur cerita. Terbunuhnya Adaninggar ditandai dengan adegan di mana Kelaswara mengempaskan kipas ke tubuh putri Cina itu. Dalam tarian pamungkas ini, modifikasi Bedhaya terlihat jelas dengan tempo gerakan yang lebih ritmis dan dinamis. Namun, pakem Bedhaya tetap muncul lewat jumlah penari dan makna tarian yang ditampilkan, misalnya tentang cinta, pengorbanan dan bela negara..
Didirikan oleh pasangan penari senior Retno Maruti dan Sentot Sudiharto pada Maret 1976, Padnecwara memang menjadi kendaraan keduanya untuk memenuhi idealisme mereka mempertahankan tradisi klasik Jawa di tengah euforia tari kontemporer. Grup ini terbukti mampu menunjukkan eksistensinya dalam ranah tari Jawa klasik dengan tampil di berbagai negara dan menelurkan banyak karya, di antaranya Langendriyan Damarwulan (1969), Abimanyu Gugur (1976), Dewabrata (1998), Alap-Alapan Sukesi (2004), dan Potraits of Javanese Dance (2005). Padnecwara juga membuka diri terhadap kemungkinan ‘mengawinkan’ Bedaya dengan tarian klasik daerah lain. Ini mereka buktikan dalam pertunjukan Bedaya Legong Calonarang pada 2006, di mana Retno berkolaborasi dengan Bulantrisna Djelantik, penari legong yang kini menetap di Amerika. Prinsip Retno yang terbuka terhadap khazanah budaya lain ini, memberi peluang kreativitas tergali secara maksimal. (Utami D. Kusumawati)
Minggu, 05 Juli 2009
Catatan Harian dari Jakarta
Catatan Harian dari Jakarta
Seorang pria mengenakan beskap Jawa, dasi, dan jas merah. Tangannya memegangi sebuah blankon yang dikenakan di kepalanya. Unik, blangkon tersebut bercorak bendera Amerika Serikat. Wajah pria itu terlihat bingung akan identitas dirinya sendiri di tengah benturan antara modernitas dan nilai kearifan lokal. Kebingungan itu, yang hadir diantara penduduk kota-kota besar, ditangkap oleh sensitifitas seniman dalam karya-karya mereka yang dipamerkan di Galeri Rumah Jawa, Kemang Timur. Pameran yang bertajuk A Diary of Jakarta (sebuah catatan harian) Art, Multicultural and Identity tersebut diramaikan oleh 19 seniman – 10 diantaranya tergabung ke dalam komunitas Ngasri, seniman asal Jogja dan Solo. Dari tema tersebut, para seniman menuangkan konsepnya ke dalam lukisan yang didalamnya banyak ditemukan kritik sosial terhadap keadaan Jakarta masa kini.
Kritik sosial itu, misalnya, adalah kebingungan identitas seperti yang dialami pemuda Jawa pada ilustrasi diatas. Giring Prihatyasono, pelukis muda, menampilkan suatu dilematis penduduk ketika modernitas datang dalam lukisannya Mencari Identitas. Di satu pihak, nilai kearifan lokal belum sepenuhnya dihayati, penduduk mesti menerima budaya baru hasil modernitas instan. Akibatnya, adalah kebingungan. Hal yang sama juga ditampilkan dalam karya Agus Prayitno yang berjudul Ditengah Modernisasi. Seorang penari Betawi duduk termangu dengan muka terpekur lesu, sementara diantara tali-tali hiasan kepala yang menjuntai di wajahnya, terdapat beberapa pin dengan gambar coca-cola, burger, mobil mewah, gedung perkotaan, dan telepon genggam. Di sini, nilai budaya lokal seperti yang ditunjukkan oleh penari Betawi mulai tergeser dengan budaya modern. Penari pun duduk lesu seolah tak berdaya.
Arus urbanisasi yang pesat masuk ke kota Jakarta, membuat para penduduknya meski berjuang untuk bertahan hidup seperti yang tampak dalam lukisan karya Agus Prasetyo berjudul Survival dan Kepala Dibuat Kaki, Kaki Dibuat Kepala. Usaha keras dibutuhkan walaupun – istilahnya- sampai titik darah penghabisan seperti lukisan karya Dyan Anggraini berjudul Viva Jakarta yang menceritakan usaha seorang perempuan untuk mendapatkan pekerjaan di Jakarta mesti berkedok topeng. Sementara, persaingan yang ketat membuat waktu pun seolah cepat berlalu. Apabila dahulu – waktu tidak pernah dianggap ancaman – kini, waktu diburu, dikejar, untuk mencapai sesuatu sebelum usia tua. Hary Purnomo ‘Ponk-q’ melihat gejala ini dan menuangkan dalam karyanya Race Againts The Time, di mana dia melukis beberapa siluet manusia dengan benang terikat di tubuh mereka berlomba mencapai garis finish, yaitu, waktu.
Keterbatasan waktu bagi penduduk kota Jakarta, membuat dunia pun tidak lagi berwarna ceria. Ambisi, hasrat atau nafsu berpacu untuk mendapatkan suatu kemapanan hidup ala perkotaan besar. Kegelapan batin semacam itulah yang berhasil ditangkap oleh pelukis Made Toris Mahendra dalam karyanya yang berjudul Syndrom, Friend, dan Mind Conqueror. Ironis ditemukan dalam karya Friend. Ketika teman berkumpul untuk lain waktu cakar-cakaran ibarat macan yang kelaparan. Pergulatan nafsu manusia terasa kental di sini. Pergulatan itu juga ditampilkan oleh pelukis Stanislaus Hari Mulyanto dengan judul Between Heaven and Hell, dengan pertentangan dalam relung-relung kejiwaan manusia. Pelukis lain yang juga menangkap suasana kelam dalam kehidupan di Jakarta adalah Cecep 'Kekev' Rusyanto dengan karyanya “Jakarta...Amazing!” dan Sebatas Impian dan Boyke Aditya Khrisna S dalam karya Di Bawah Permukaan dan Karam Sebelum Berlabuh.
Bila beberapa pelukis menangkap tema ke dalam sesuatu rasa yang gelap, tidak demikian dengan pelukis seperti Hono Sun. Dalam karya Pergi ke Bulan, seorang supir becak membawa becaknya di atas awan, dengan keriangan bak anak kecil. Di sini tertangkap atmosfer keceriaan meski terkesan imajiner atau ilusi. Sedangkan, dalam karyanya yang lain, Penghijauan, gedung-gedung diberi warna hijau seolah mengindikasikan gaya hidup eco office yang mulai trend di Jakarta. Setidaknya, optimisme masih mewarnai nafas penduduk diantara pesimisme tentang kehidupan perkotaan.
Sedangkan pelukis lainnya memilih berbicara tentang realita hidup sehari-hari di Jakarta. Ada yang berbicara tentang tata kota dan kaitannya dengan tata letak patung di Jakarta. Tata kota Jakarta yang tidak beraturan akibat pembangunan ekstrim membuat patung pun tidak mendapatkan lokasi yang semestinya. Hal ini yang nampak dalam karya Vincensius Dwimawan yang berjudul Unjuk Gigi. Sementara Azri Riyadi menangkap gejala tak adanya konsistensi pembangunan di Jakarta. Gedung-gedung dibikin, fasilitas transportasi umum dikerjakan, lahan dibabat habis, untuk pembangunan yang belum selesai sampai kini. Sedangkan, pelukis Widiyatno menampilkan orang tua dengan opletnya – pasangan yang sama-sama hampir tersingkir dalam arus modernisasi di Jakarta. Dalam Selamat Datang Polusi, Sumarjo mengisahkan polusi yang kian pekat membuat penduduknya hidup dalam masker. Hal yang sama juga ditemukan dalam lukisan karya Ady laksono, Dwiko Raharjo, Herman Widianto, Said Budiarto,dan Widiyatno.
“Keterpercahan, kegemilangan, tragedi, ilusi, imajinasi tanpa batas, kegembiraan, sesuatu yang bermakna dan omong kosong berpadu menjadi satu dalam tingkah polah manusia yang menghuni kota,” Wicaksono Adi, kurator, menjelaskan. Kesemua permasalahan di Jakarta adalah bagian yang tak terpisahkan dari nafas penduduknya, suatu paradoks yang berdenyut dalam nadi modernitas perkotaan.
(Utami D. Kusumawati)
Seorang pria mengenakan beskap Jawa, dasi, dan jas merah. Tangannya memegangi sebuah blankon yang dikenakan di kepalanya. Unik, blangkon tersebut bercorak bendera Amerika Serikat. Wajah pria itu terlihat bingung akan identitas dirinya sendiri di tengah benturan antara modernitas dan nilai kearifan lokal. Kebingungan itu, yang hadir diantara penduduk kota-kota besar, ditangkap oleh sensitifitas seniman dalam karya-karya mereka yang dipamerkan di Galeri Rumah Jawa, Kemang Timur. Pameran yang bertajuk A Diary of Jakarta (sebuah catatan harian) Art, Multicultural and Identity tersebut diramaikan oleh 19 seniman – 10 diantaranya tergabung ke dalam komunitas Ngasri, seniman asal Jogja dan Solo. Dari tema tersebut, para seniman menuangkan konsepnya ke dalam lukisan yang didalamnya banyak ditemukan kritik sosial terhadap keadaan Jakarta masa kini.
Kritik sosial itu, misalnya, adalah kebingungan identitas seperti yang dialami pemuda Jawa pada ilustrasi diatas. Giring Prihatyasono, pelukis muda, menampilkan suatu dilematis penduduk ketika modernitas datang dalam lukisannya Mencari Identitas. Di satu pihak, nilai kearifan lokal belum sepenuhnya dihayati, penduduk mesti menerima budaya baru hasil modernitas instan. Akibatnya, adalah kebingungan. Hal yang sama juga ditampilkan dalam karya Agus Prayitno yang berjudul Ditengah Modernisasi. Seorang penari Betawi duduk termangu dengan muka terpekur lesu, sementara diantara tali-tali hiasan kepala yang menjuntai di wajahnya, terdapat beberapa pin dengan gambar coca-cola, burger, mobil mewah, gedung perkotaan, dan telepon genggam. Di sini, nilai budaya lokal seperti yang ditunjukkan oleh penari Betawi mulai tergeser dengan budaya modern. Penari pun duduk lesu seolah tak berdaya.
Arus urbanisasi yang pesat masuk ke kota Jakarta, membuat para penduduknya meski berjuang untuk bertahan hidup seperti yang tampak dalam lukisan karya Agus Prasetyo berjudul Survival dan Kepala Dibuat Kaki, Kaki Dibuat Kepala. Usaha keras dibutuhkan walaupun – istilahnya- sampai titik darah penghabisan seperti lukisan karya Dyan Anggraini berjudul Viva Jakarta yang menceritakan usaha seorang perempuan untuk mendapatkan pekerjaan di Jakarta mesti berkedok topeng. Sementara, persaingan yang ketat membuat waktu pun seolah cepat berlalu. Apabila dahulu – waktu tidak pernah dianggap ancaman – kini, waktu diburu, dikejar, untuk mencapai sesuatu sebelum usia tua. Hary Purnomo ‘Ponk-q’ melihat gejala ini dan menuangkan dalam karyanya Race Againts The Time, di mana dia melukis beberapa siluet manusia dengan benang terikat di tubuh mereka berlomba mencapai garis finish, yaitu, waktu.
Keterbatasan waktu bagi penduduk kota Jakarta, membuat dunia pun tidak lagi berwarna ceria. Ambisi, hasrat atau nafsu berpacu untuk mendapatkan suatu kemapanan hidup ala perkotaan besar. Kegelapan batin semacam itulah yang berhasil ditangkap oleh pelukis Made Toris Mahendra dalam karyanya yang berjudul Syndrom, Friend, dan Mind Conqueror. Ironis ditemukan dalam karya Friend. Ketika teman berkumpul untuk lain waktu cakar-cakaran ibarat macan yang kelaparan. Pergulatan nafsu manusia terasa kental di sini. Pergulatan itu juga ditampilkan oleh pelukis Stanislaus Hari Mulyanto dengan judul Between Heaven and Hell, dengan pertentangan dalam relung-relung kejiwaan manusia. Pelukis lain yang juga menangkap suasana kelam dalam kehidupan di Jakarta adalah Cecep 'Kekev' Rusyanto dengan karyanya “Jakarta...Amazing!” dan Sebatas Impian dan Boyke Aditya Khrisna S dalam karya Di Bawah Permukaan dan Karam Sebelum Berlabuh.
Bila beberapa pelukis menangkap tema ke dalam sesuatu rasa yang gelap, tidak demikian dengan pelukis seperti Hono Sun. Dalam karya Pergi ke Bulan, seorang supir becak membawa becaknya di atas awan, dengan keriangan bak anak kecil. Di sini tertangkap atmosfer keceriaan meski terkesan imajiner atau ilusi. Sedangkan, dalam karyanya yang lain, Penghijauan, gedung-gedung diberi warna hijau seolah mengindikasikan gaya hidup eco office yang mulai trend di Jakarta. Setidaknya, optimisme masih mewarnai nafas penduduk diantara pesimisme tentang kehidupan perkotaan.
Sedangkan pelukis lainnya memilih berbicara tentang realita hidup sehari-hari di Jakarta. Ada yang berbicara tentang tata kota dan kaitannya dengan tata letak patung di Jakarta. Tata kota Jakarta yang tidak beraturan akibat pembangunan ekstrim membuat patung pun tidak mendapatkan lokasi yang semestinya. Hal ini yang nampak dalam karya Vincensius Dwimawan yang berjudul Unjuk Gigi. Sementara Azri Riyadi menangkap gejala tak adanya konsistensi pembangunan di Jakarta. Gedung-gedung dibikin, fasilitas transportasi umum dikerjakan, lahan dibabat habis, untuk pembangunan yang belum selesai sampai kini. Sedangkan, pelukis Widiyatno menampilkan orang tua dengan opletnya – pasangan yang sama-sama hampir tersingkir dalam arus modernisasi di Jakarta. Dalam Selamat Datang Polusi, Sumarjo mengisahkan polusi yang kian pekat membuat penduduknya hidup dalam masker. Hal yang sama juga ditemukan dalam lukisan karya Ady laksono, Dwiko Raharjo, Herman Widianto, Said Budiarto,dan Widiyatno.
“Keterpercahan, kegemilangan, tragedi, ilusi, imajinasi tanpa batas, kegembiraan, sesuatu yang bermakna dan omong kosong berpadu menjadi satu dalam tingkah polah manusia yang menghuni kota,” Wicaksono Adi, kurator, menjelaskan. Kesemua permasalahan di Jakarta adalah bagian yang tak terpisahkan dari nafas penduduknya, suatu paradoks yang berdenyut dalam nadi modernitas perkotaan.
(Utami D. Kusumawati)
Langganan:
Postingan (Atom)